Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kekerasan terhadap Pers Jadi Isu Penting

Kompas.com - 13/04/2017, 17:40 WIB

JAKARTA, KOMPAS - Kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi harus diimbangi dengan profesionalisme. Hak untuk mengutarakan pendapat harus seimbang dengan kewajiban menjaga etika.

"Kekerasan terhadap wartawan adalah isu penting dalam demokrasi. Munculnya kekerasan yang tak terkontrol dari oknum terjadi karena ketidakseimbangan," kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto di Jakarta, Rabu (12/4).

Wiranto membuka Forum Koordinasi dan Konsultasi Kemenko Polhukam dengan tema "Kekerasan terhadap Wartawan dalam Menjalankan Tugas Jurnalistik" dengan pembicara Ketua Dewan Pers Stanley Adi Prasetyo dan Kepala Dinas Penerangan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara Marsekal Pertama Jemi Trisonjaya.

Wiranto mengatakan, di satu sisi pers ingin mengimplementasikan haknya sebebas mungkin menyampaikan informasi. Namun, kebebasan berhadapan dengan elemen bangsa yang lain.

Tidak jarang muncul tindak kekerasan dari oknum yang dianggap pers melakukan kesalahan. "Kita harus menemukan keseimbangan antara kebebasan pers dan kewajiban untuk menjaga etika," kata Wiranto.

Stanley mengatakan, solusi yang diajukan Dewan Pers antara lain meningkatkan kualitas dan kompetensi wartawan terkait pelaksanaan kode etik jurnalistik. Kedua, Dewan Pers terus menyelesaikan kasus-kasus pemberitaan yang bermasalah. Ketiga, membuat buku petunjuk teknis liputan yang mengakomodasi kepentingan semua pihak.

Stanley mengatakan, kebebasan pers dijamin Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Realitasnya, saat ini bermunculan banyak media baru. Hal ini mendorong ledakan jumlah wartawan yang ternyata banyak yang belum kompeten.

Survei Dewan Pers tahun 2015 menunjukkan, dari 2000 media cetak, yang memenuhi syarat media profesional hanya 321 media. Sementara, dari 43.300 media dalam jaringan (online), yang lolos syarat profesional hanya 168. "Ada pers profesional, ada yang partisan, dan ada yang abal-abal," kata Stanley.

Berkait hal ini, Jemi mengemukakan, perlu ada komunikasi intensif dengan media agar terjadi saling menghargai.

Jemi mencontohkan komunikasinya dengan media massa dilakukan dengan mengajak mengunjungi satuan-satuan TNI AU. Mereka bebas bekerja seusai kebutuhan pemberitaan dengan tetap mematuhi batas kerahasiaan instalasi militer.

Melarang

Hal ini berbeda ketika ada insiden. Dalam 5 tahun terakhir, misalnya, kerap ada insiden prajurit TNI AU melarang wartawan memotret peristiwa. Insiden ini beberapa kali diwarnai dengan aksi kekerasan terhadap wartawan yang meliput kejadian.

Jemi mengatakan, ada pertimbangan TNI AU, terkait keamanan, misalnya, insiden pesawat tempur F-16 tergelincir di Pekanbaru, Riau, bulan lalu, masih membawa bom sehingga kawasan harus steril. "Dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban, semoga ke depan tidak terjadi lagi saat wartawan meliput TNI AU," kata Jemi. Jemi mengatakan, pihaknya tengah menyusun buku pedoman peliputan di TNI AU. (EDN)
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 April 2017, di halaman 4 dengan judul "Kekerasan terhadap Pers Jadi Isu Penting".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com