Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wiranto: Kalau Kebobolan, Ada yang Salah dalam Seleksi Patrialis

Kompas.com - 31/01/2017, 18:49 WIB
Ihsanuddin

Penulis

BOGOR, KOMPAS.com - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menilai, ada yang salah dari penunjukan Patrialis Akbar sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi pada 2013.

Sebab, nama Patrialis langsung ditunjuk oleh Presiden ketika itu, Susilo Bambang Yudhoyono, tanpa melibatkan panitia seleksi.

Belakangan, Patrialis ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan sangkaan menerima suap terkait penanganan uji materi undang-undang.

"Kalau sekarang ternyata kebobolan seperti ini, tentunya ada yang salah dalam seleksi," kata Wiranto di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (27/1/2017).

"Seleksi itu kan menentukan yang terbaik. Tatkala hasil seleksi output-nya tidak terbaik berarti ada yang salah dalam proses seleksi," tambahnya.

(baca: Patrialis Akbar, Hakim MK Pilihan SBY yang Sempat Jadi Polemik)

Untuk itu, lanjut Wiranto, pemerintah berupaya mengubah sistem seleksi yang dilakukan SBY itu.

Hakim MK dari unsur pemerintah pengganti Patrialis Akbar akan dipilih secara terbuka dan transparan lewat panitia seleksi.

"Figur-figur yang dipilih itu kan masyarakat harus tahu, siapa, latar belakangnya bagaimana, tidak ujug-ujug muncul begitu kan tidak bisa," kata dia.

(baca: Demokrat Minta Kasus Patrialis Tak Dikaitkan dengan SBY)

Wiranto berharap, dengan sistem seleksi hakim MK yang terbuka dan transparan, maka kejadian yang menimpa patrialis tidak terulang.

Penunjukan Patrialis sebagai penjaga konstitusi sempat menjadi polemik. Keputusan SBY itu dinilai menyalahi tata cara pemilihan hakim konstitusi.

Proses pemilihan Patrialis dianggap tidak transparan dan tidak membuka peluang bagi masyarakat untuk turut menyumbangkan pendapat.

(baca: Petinggi Demokrat Sebut Penunjukan Patrialis oleh SBY Sesuai Prosedur)

Padahal, berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi diatur mengenai pencalonan hakim konstitusi secara transparan dan partisipatif.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com