Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ancaman Gerakan Populis terhadap Demokrasi di Indonesia

Kompas.com - 15/01/2017, 16:14 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat Intelijen Soeripto J. Said menilai bahwa Indonesia sedang mengalami penyebaran fenomena populisme.

Fenomena populisme sudah terjadi di Amerika dengan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS.

Dalam janji kampanyenya, Trump menyiratkan sosok populis yang antidemokrasi.

Kemudian Inggris yang memutuskan keluar dari Uni Eropa. Sementara di Asia, muncul sosok Presiden Filipina Rodrigo Duterte.

Masyarakat merasa tidak puas dengan elite pemerintah dan mulai memercayai tokoh-tokoh yang cenderung konservatif dan anti-demokrasi.

Rasa tidak puas masyarakat disebabkan oleh kekecewaan publik terhadap proses demokrasi saat ini yang justru menimbulkan ketimpangan, baik di sektor politik maupun ekonomi.

Menurut Soeripto, gejala populisme muncul karena sumber daya alam dikuasai oleh korporasi. Korporasi melakukan pendekatan kepada pusat pengambil keputusan yang terkait dengan kebijakan publik.

Sehingga kebijakan publik terkesan mementingkan pihak pemodal dan merugikan kepentingan nasional.

"Bahkan kebijakan publik itu dianggap penjajahan bentuk baru di bidang ekonomi. Maka berkembanglah rasa kekecewaan publik terhadap pemerintah dan gerakan protes," ujar Soeripto dalam diskusi 'Menyikapi Perubahan, Kebangkitan Populisme' di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Minggu (15/1/2017).

Soeripto mengatakan, pemerintah seharusnya mengambil kebijakan untuk mengatasi ketimpangan agar fenomena populisme tidak semakin meluas.

Kehadiran korporasi global yang dinilai "menjajah", kata Soeripto, harus dibatasi oleh pemerintah.

Dia menilai, korporasi global hanya akan membuat generasi muda Indonesia menjadi "budak" di negaranya sendiri.

"Kita kan tidak mau wilayah Indonesia hanya jadi bagian dari geopolitik negara-negara yang berperilaku ekspansionis. Kehadiran negara-negara asing di Indonesia harus ditolak," ucap dia.

Pada kesempatan yang sama, dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Herry Priyono, mengatakan, fenomena populisme di Indonesia sengaja dipelihara oleh kelompok-kelompok politik maupun agama yang ingin berkuasa.

Jika terus dipelihara, maka agenda populis tersebut akan berdampak negatif pada pluralitas dan kebhinekaan. Sebab, populisme cenderung berpikiran tertutup dan anti-keberagaman.

"Menurut saya harus ada penolakan terhadap populisme. Harus ada jaminan rasa aman bahwa hidup bersama di Indonesia bisa dilakukan. Sekarang rasa cemas masyarakat semakin tinggi," ujar Herry.

Selain itu, menurut Herry, populisme juga akan mengancam agenda pro-demokrasi yang sedang berjalan.

Agenda pro-demokrasi seperti pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi dan peningkatan kesejahteraan hanya bisa berjalan bila suatu negara bersifat inklusif tanpa adanya diskriminasi.

"Efek dari populisme menyebabkan agenda pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi dan kesejahteraan tidak berjalan karena agenda civic itu cirinya inklusiv tanpa diskriminasi," tuturnya.

Kompas TV Jokowi: Trump "Jiplak" Indonesia
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com