JAKARTA, KOMPAS.com - Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan indikasi kerugian negara sebesar Rp 6,9 miliar kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kerugian tersebut diduga terkait penyalahgunaan izin usaha pertambangan di Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah.
"Terdapat indikasi perbuatan melawan hukum, saat izin usaha yang diberikan ternyata memasuki kawasan hutan," ujar staf Divisi Investigasi ICW Lais Abid di Gedung KPK Jakarta, Jumat (6/1/2017).
Menurut Lais, berdasarkan pemantauan tim investigasi, lahan kritis yang tidak produktif di Tolitoli jumlahnya semakin meningkat, yakni sekitar seluas 17.385 hektar.
Dari jumlah tersebut, seluas 2.537 hektar merupakan kawasan hutan.
Lais mengatakan, salah satu penyebab meningkatnya lahan kritis karena banyaknya izin perusahaan yang diberikan di kawasan hutan lindung.
Pada 2010 hingga 2012, menurut Lais, pejabat tinggi di Tolitoli telah memberikan 11 izin usaha pertambangan kepada beberapa perusahaan.
"Pada tahun 2010, Bupati diduga mengeluarkan izin yang terletak di kawasan hutan lindung untuk PT TEN," kata Lais.
Kemudian, pada 2014, Bupati disebut ICW mengeluarkan izin di kawasan hutan lindung seluas 1.929 hektar.
Dari jumlah tersebut, seluas 434,37 hektar telah dilakukan land clearing atau penebangan pohon di kawasan hutan. Akibatnya, terjadi kerugian negara sekitar Rp 6,9 miliar.
Selain kerugian negara, menurut Lais, pengelolaan kawasan hutan milik negara telah menguntungkan perusahaan seperti PT TEN.
Dengan demikian, ICW menuding terdapat indikasi penyalahgunaan wewenang oleh kepala daerah untuk memperkaya pihak swasta.
"Kami menuntut KPK mengusut tuntas laporan dugaan kasus korupsi pemberian izin lokasi kawasan hutan lindung di Kabupaten Tolitoli," kata Lais.
Hingga saat ini, belum ada tanggapan dari Bupati Tolitoli dan PT TEN.
Sedangkan Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan bahwa laporan ini akan diterima KPK sebagai pengaduan masyarakat.
KPK akan melihat isi laporan yang disampaikan, serta sejumlah bukti yang dilampirkan.
"Jika mencukupi untuk ditindaklanjut, bisa dilanjutkan dengan pengumpulan bahan dan keterangan," ujar Febri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.