JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengaku terkendala dalam memberi perlindungan dan bantuan terhadap korban terorisme.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, hambatan tersebut disebabkan minimnya anggaran untuk memberi perlindungan dan bantuan terhadap korban.
"Dalam pelaksanaan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK terkendala dengan jumlah anggaran yang tersedia," ujar Haris di Hotel Lumire, Jakarta, Selasa (25/10/2016).
Haris menuturkan, tahun ini anggaran LPSK telah dipotong dua kali hingga tersisa Rp 70 miliar.
Padahal pada APBN 2016, LPSK mendapat alokasi senilai Rp 90 miliar. Lalu, pada APBN-perubahan LPSK mendapat Rp 82,9 miliar.
Adapun tahun 2015 anggaran LPSK mencapai Rp 160 miliar.
"Kebijakan pemotongan anggaran yang terhitung sudah dua kali dilakukan Pemerintahan Presiden RI Joko Widodo dirasa cukup menyulitkan LPSK dalam memenuhi hak korban," ucap Haris.
Kendala LPSK dalam memenuhi hak korban terorisme terlihat dari minimnya bantuan yang diberikan.
Haris memaparkan, dari 328 korban terorisme yang terdata saat ini, hanya 31 yang diberikan bantuan medis oleh LPSK.
"Sementara, 25 korban diberikan bantuan psikologi dan 27 lainnya diberi bantuan psikososial," tambah Haris.
Haris berharap pemerintah ke depannya dapat memberikan perhatian khusus terhadap perlindungan dan bantuan terhadap hak-hak korban, khususnya yang terdampak terorisme.
"LPSK berharap Pemerintahan Presiden Jokowi dapat memprioritaskan pemenuhan hak korban. Dalam hal ini pemenuhan hak bagi korban terorisme," kata Haris.