JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Sumarsono mengatakan, jajarannya saat ini sedang fokus mengkaji pembatalan peraturan daerah atau peraturan kepala daerah yang dianggap tak menunjang iklim investasi.
Setelah itu, giliran perda yang dianggap diskriminatif yang bakal mengalami pembatalan. "10-15% dari 3.143 pembuatan Perda memang sifatnya diskriminatif. Itu memang harus kita hapuskan," kata Sumarsono di kantornya, Kemendagri, Jakarta, Selasa (14/6/2016).
(Baca: Jokowi: 3.143 Perda Bermasalah Telah Dibatalkan)
Sumarsono mengatakan proses pembatalan perda yang bersifat diskriminatif akan dilakuan secara hati-hati melalui proses konsultasi. Kata dia, Perda seperti itu dibuat berdasarkan kultur daerah dan usulan dari masyarakat.
Sumarsono mencontohkan, Perda diskriminatif terdapat di Purwakarta, Kabupaten Tangerang dan Serang. Namun, dia tidak menjelaskan secara rinci soal unsur diskriminatif dari suatu perda.
Yang jelas, kata dia, perda bersifat diskriminatif dikarenakan adanya ketidakcermatan dan juga kurangnya pemahaman dalam pembuatan Perda.
"Jadi kalau puasa semua orang tidak boleh makan. Itu pemahaman mereka sebatas itu. Tapi dalam perspektif UU HAM, pengertian HAM itu jangankan semua orang. Satu orang pun dilarang itu sudah melanggar," kata dia.
(Baca: Pembatalan Lebih dari 3.000 Perda Bukan yang Terakhir)
"Bunyinya kan dilarang berjualan, dilarang makan, dilarang melayani pada bulan Ramadhan. Itu kan berarti bisa luar biasa. Kalau dia itu tidak puasa, sakit, musafir, hak orang, hak berusaha juga dilanggar," ucap Sumarsono.