JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto meminta kepada pemerintah agar merevisi Undang-undang yang berkaitan dengan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN).
"UU LKHPN itu sanksinya hanya administratif. Harus ada rangkap dengan peraturan-peraturan lain. Kalau bisa dilapis," kata Agus di Jakarta, Selasa (26/4/2016).
Kewajiban Penyelenggara Negara untuk melaporkan harta kekayaan diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi.
Selain itu, juga Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor: KEP. 07/KPK/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan, dan Pengumuman Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Agus mengatakan UU LHKPN diperkuat dengan sanksi pidana bagi pejabat yang enggan melaporkan harta kekayaannya. Hal tersebut untuk memberikan efek jera sehingga tak ada lagi pejaba yang mangkir melaporkan LHKPN.
(Baca: KPK: Ketua BPK Belum Serahkan LHKPN)
"Memperkuat dengan pidana tentunya. UU kan sah untuk dipidanakan. Kalau tidak ada kan jadinya mandul. Akhirnya, orang tidak patuh terhadap LHKPN," tutur Agus.
Agus menambahkan, penambahan hukuman tersebut penting sebagai titik awal untuk menguji pendapatan pejabat negara yang diperoleh secara legal atai ilegal.
Pernyataan Agus terkait dengan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Aziz diminta yang belum melaporkan harta kekayaannya. Hingga kini, Harry belum memberikan laporan tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut KPK, Harry terakhir menyerahkan LHKPN pada 2010, saat masih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
(Baca: Ahok: Kalau Tidak Lapor LHKPN dan Tidak Bisa Buktikan Pajak, Enggak Usah Teriak-teriak!)
"Sudah dicek secara manual, baik yang diterima via pos maupun langsung di CS, Pak Harry Azhar Azis belum lapor LHKPN sebagai Ketua BPK," ujar Direktur Pendaftaran dan Pemeriksaan LHKPN, Cahya Hardianto Harefa, melalui pesan singkat, Rabu (20/4/2016).
Menurut Cahya, Harry Azhar terakhir menyerahkan form B1 pada tanggal 29 Juli 2010, dengan jabatan sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014. Harry menjadi Ketua BPK sejak Oktober 2014.
(Baca: TII Usulkan Mekanisme "Asset Declaration" agar Pejabat Patuh Serahkan LHKPN)
Berdasarkan ketentuan, penyelenggara negara harus bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan sesudah menjabat.
Selain itu, melaporkan harta kekayaannya pada saat pertama kali menjabat, mutasi, promosi, dan pensiun.
Berdasarkan data LHKPN 2010 yang dimuat dalam situs acch.kpk.go.id, Harry memiliki sejumlah harta kekayaan dalam berbagai bentuk yang jumlah totalnya mencapai Rp 9.930.243.544 dan 680 dollar AS.