Tersiar kabar, Yusril Ihza Mahendara dan Abraham Lunggana akan maju ke arena Pilkada DKI Jakarta 2017 dari jalur indendepen. Mereka berdua akan menyusul Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang telah terlebih dahulu menyatakan maju lewat jalur perseorangan.
Meski belum disebutkan siapa relawannya, Yusril yang mantan Menteri Hukum dan HAM itu akan mengumpulkan dukungan KTP warga dari masjid ke masjid, juga dari rumah ke rumah.
Sementara Abraham Lunggana yang akrab disapa Lulung, akan mengumpulkan KTP dukungan melalui Jaringan Suka Haji Lulung. Belum terlalu jelas juga, siapa gerangan relawannya.
Apakah pengumpulan KTP dukungan yang diupayakan trio Ahok-Yusril-Lulung ini disebut gerakan deparpolisasi? Mungkin benar dari kacamata partai politik, tetapi belum tentu benar dari sisi yuridis formal.
Bakal calon yang dihasilkan jalur independen bukanlah “anak haram” yang layak tidak diakui. Keberadaan bakal calon pemimpin daerah dari jalur independen, mulai bupati/wali kota sampai gubernur, dijamin undang-undang. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Menjadi aneh bin ajaib kalau ada pentolan partai politik, apalagi politisi papan atas, yang kemudian menihilkan keberadaan calon independen sebagai deparpolisasi. Bukankah undang-undang terlahir karena tangan-tangan politisi partai politik yang duduk di DPR?
Bagaimana mungkin bisa cemburu terhadap suatu barang yang dihasilkan sendiri? Apa bukan senjata makan tuan namanya?
Anggaplah sikap yang ditunjukkan para politisi elite PDIP tatkala relawan Teman Ahok berhasil mengajak Ahok bertarung di jalur perseorangan itu sebagai “cemburu buta” atau “kasih tak sampai” akibat emosi yang telanjur menguasai pikiran dan perasaan.
Sejatinya, hubungan Ahok dan PDIP kemarin baru sebatas PDKT alias pendekatan, belum ada deal atau ikatan apa-apa. Kalau kemudian ada elite partai yang mengatakan jalur independen sebagai gerakan deparpolisasi, sama saja dengan menampar muka sendiri.
Dengan ketentuan minimal mengumpulkan 525.000 KTP dukungan dari sekitar 7 juta pemilih, sebenarnya bisa dihasilkan sampai 12 pasang bakal calon independen. Jumlah ini sangat berlimpah dan terkesan dimanjakan.
Bandingkan dengan calon dari partai politik yang maksimal hanya bisa menghasilkan empat pasang saja. Ini disebabkan aturan di mana sedikitnya 21 kursi DPRD syarat memajukan calon. Dengan 28 kursi dari 106 kursi DPRD, PDIP bisa langsung memajukan calonnya tanpa harus berkoalisi dengan partai lain.
Poin ini seharusnya dimanfaatkan oleh PDIP untuk memajukan calonnya sendiri agar sosialisasi kepada publik dilakukan lebih awal. Harapannya, elektabilitas calon yang diusung semakin tinggi.
Lebih banyak pasangan calon, baik dari independen maupun perseorangan, itu lebih baik karena pemegang hak pilih menjadi punya banyak pilihan. Bagi calon perseorangan, kerja relawan dan berapa KTP dukungan yang dihasilkan, akan menjadi ujian pertama namun menentukan.
Sejauh ini, baru relawan Teman Ahok yang sudah bekerja mengumpulkan KTP dukungan. Belum tersiar kabar apa nama relawan atau siapa relawan yang memberi dukungan untuk Yusril dan Lulung. Juga belum terberitakan, apakah relawan ini sudah bekerja. Sebab jika para relawan ini bekerja, adalah tantangan berat bagi partai politik untuk menggalang massa partai lebih fanatik lagi.
Yusril juga belum menentukan siapa bakal calon wakilnya. Demikian juga Lulung. Padahal sebagaimana amanat undang-undang dan yang diingatkan Yusril kepada Ahok, KTP dukungan itu harus kepada pasangan, bukan kepada hanya bakal calon gubernur atau bakal calon wakil gubernur saja.