Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"MKD Jangan Jadi 'Dewi Fortuna' bagi Setya Novanto seperti Kasus Sebelumnya"

Kompas.com - 17/11/2015, 11:57 WIB
Ihsanuddin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Mahkamah Kehormatan Dewan diharapkan bekerja profesional dalam mengusut laporan Menteri ESDM Sudirman Said.

Sudirman melaporkan Ketua DPR Setya Novanto atas dugaan meminta saham dari PT Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. (Baca: Menteri ESDM Akui Politisi Pencatut Nama Jokowi adalah Setya Novanto)

MKD diminta tidak mengulangi berbagai kejanggalan ketika mengusut kasus Setya Novanto sebelumnya, terkait kehadirannya dalam kampanye bakal calon presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

"MKD jangan menjadi 'dewi fortuna' bagi Setya Novanto seperti kasus sebelumnya," kata peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, saat dihubungi, Selasa (16/11/2015).

Saat mengusut kasus kehadiran Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam kampanye Trump, MKD kesulitan memanggil keduanya.

Sejumlah pimpinan dan anggota MKD akhirnya menjemput bola dengan mendatangi keduanya, tanpa diketahui oleh sejumlah pimpinan dan anggota MKD lainnya. (Baca: Diam-diam, MKD Sudah Periksa Setya Novanto-Fadli Zon pada Pekan Lalu)

Setelah melakukan pemeriksaan diam-diam itu, MKD menjatuhkan sanksi berupa teguran. (Baca: MKD Putuskan Novanto-Fadli Langgar Kode Etik Ringan)

"Wajar saja publik pesimistis. Bagaimana bisa optimistis jika lembaga dan orang-orang yang sama masih menjadi penentu dalam kasus yang diduga melibatkan orang yang sama pula, yakni Setya Novanto," ucap Lucius.

Kendati demikian, Lucius menilai, masih ada harapan bahwa MKD bisa bekerja secara profesional. Sebab, kasus Trump terjadi di luar negeri dengan bukti-bukti yang serba terbatas. (Baca: Kubu Agung Minta MKD Tak "Masuk Angin" Usut Kasus Setya Novanto)

Namun, untuk kasus pencatutan nama kepala negara, hal tersebut terjadi di dalam negeri, dengan bukti yang kuat, yakni rekaman pembicaraan antara Novanto, seorang pengusaha, dan seorang petinggi PT Freeport.

Pihak-pihak yang terlibat juga bisa dihadirkan. Jadi, tak ada alasan bagi MKD untuk bermain-main dengan kasus ini.

"MKD tak bisa menganggap enteng kasus ini dengan kompromi-kompromi saja karena mereka bisa jadi dianggap bersekongkol dan ikut terlibat melindungi kejahatan jika pada saatnya KPK menemukan dugaan korupsi dalam proses pencatutan nama tersebut," ucap Lucius.

Setya Novanto tetap membantah tuduhan bahwa dirinya mencatut nama Presiden dan Wapres. Ia mengatakan, Presiden dan Wapres adalah simbol negara yang harus dihormati dan dilindungi.

"Apalagi Presiden khusus dengan Freeport sangat perhatian, khususnya bagi hasil, CSR, untuk kepentingan rakyat dan rakyat Papua. Kita tidak akan membawa nama-nama yang bersangkutan," kata Novanto.

Dalam laporannya ke MKD, Sudirman menyebut Novanto bersama seorang pengusaha menemui bos PT Freeport sebanyak tiga kali.

Pada pertemuan ketiga, menurut Sudirman, Novanto meminta saham sebesar 11 persen untuk Presiden dan 9 persen untuk Wapres demi memuluskan renegosiasi perpanjangan kontrak PT Freeport. (Baca: JK Terganggu Namanya Dicatut)

Novanto juga disebut meminta PT Freeport untuk melakukan divestasi saham sebesar 49 persen dalam pembangunan proyek listrik di Timika. (Baca: "Politisi Kuat" Minta Saham 20 Persen ke Freeport untuk Presiden dan Wapres)

Sudirman mengaku mendapat informasi itu dari pimpinan Freeport.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com