Oleh: Gufran Ali Ibrahim
"Language is the measure of our lives. -Bahasa adalah ukuran kehidupan kita."
(Toni Morrison, 1994)
JAKARTA, KOMPAS - Ikrar satu bangsa, satu tanah air, dan (menjunjung) satu bahasa dalam Sumpah Pemuda, 87 tahun lalu, telah menaikkan status bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia. Ikrar ini memperjumpakan semua ikatan kelokalan Nusantara.
Inilah pemuliaan bahasa, menaikkan status satu bahasa intraetnik jadi bahasa antaretnik yang melampaui segala batas dan sekat, kemudian mengantar bahasa Indonesia menjadi bahasa perjumpaan dalam kerangka keindonesiaan.
Dengan bahasa inilah kita sekarang berjumpa dalam ruang kesadaran kebangsaan yang bineka: tukar pikiran, saling dengar, saling belajar, saling negosiasi, dan membentuk kemajuan keindonesiaan kita hingga kini.
Bahasa Indonesia yang telah dimuliakan ini kini kita gunakan dalam "membangun percakapan"-meminjam ungkapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan-untuk terus menciptakan Indonesia yang lebih maju dalam merawat kebinekaan kita.
Perekat yang dinamis
Andai pemuda bangsa mula-mula itu tak berikrar memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa bangsa, mungkin saja keindonesiaan kita jadi lain. Tokoh bangsa ini sesungguhnya adalah "pemulia bahasa negara-bangsa".
Pada titik ini mereka tidak hanya bersepakat berbangsa satu, bertanah air satu, dan menjunjung bahasa satu, tetapi juga telah membuat bangunan kebangsaan.
Mereka telah memperjumpakan kebinekaan bangsa dengan bahasa sebagai perekat yang dinamis.
Kesadaran memilih satu bahasa untuk perjumpaan dalam ruang kebangsaan yang bineka ini adalah tanda bahwa pemuda mula-mula bangsa ini tak sekadar ingin bercakap dalam satu bahasa, tetapi justru sedang memainkan suatu ketinggian budi bahasa.