Bahasa kita bahasa berseberangan, bukan yang menyeberangkan. Bahasa kita adalah bahasa pemisahan, bukan lagi yang memperjumpakan.
Bahasa kita kini bahasa yang menegasikan, bukan menegosiasikan. Kita tidak sedang bernegosiasi, tetapi saling bernegasi.
Kami benar dan mereka salah. Kita seakan kehilangan persona sosial bernama "kita". Kita bertutur untuk sama-sama merebut ruang, bukan membagi ruang. Bahasa kita bahasa kemarahan, bukan bahasa keramahan.
Padahal, tinggi budi bahasa sebagai wujud pemuliaan bahasa haruslah ditandai dengan bahasa yang merangkul dan tindak-tutur yang saling memuliakan.
Bahasa kita adalah bahasa negosiasi, menyatukan, bukan yang memisahkan, memahami dan bukan menekan untuk memaksa dipahami.
Tinggi budi bahasa haruslah ditandai dengan bertindak-tutur untuk menemukan jalan keluar, bukan untuk menyodorkan jalan buntu, meletakkan "orang lain" sebagai mitra wicara, bukan lawan bicara. Bahasa kita haruslah bahasa kemitraan, bukanlah tindak-tutur permusuhan.
Kalau kita bertindak-tutur karena marah, atau kemarahan itu adalah tindak-tutur itu sendiri, maka bahasa kita adalah bahasa kemarahan.
Kalau kita bertutur karena ingin mengenyahkan atau pengenyahan itu adalah tindak-tutur itu sendiri, maka kebudayaan kita adalah kebudayaan kelompok, dan kebudayaan kelompok pastilah komunal.
Cermat-apik-santun
Supaya kita terus jadi bangsa yang berbudi bahasa tinggi, pengertian mengenai berbahasa (Indonesia) yang baik dan benar yang kita pegang selama ini sebagai kata-kata sakti untuk menjaga kemuliaan bahasa Indonesia perlu dirumuskan kembali.