Mas'ud Ridwan, calon Wakil Bupati Semarang, Jawa Tengah, tertawa saat ditanya tentang berapa dana yang dikeluarkan tim kampanyenya untuk membayar tim khusus yang mengurusi kampanye media sosial.
"Rahasia itu, ha-ha-ha. Tentu jumlahnya lebih kecil dibanding dana buat rapat umum dan rapat terbuka. Kampanye media sosial lebih murah," kata Mas'ud saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (22/9).
Mas'ud yang mundur dari jabatannya sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Semarang lantaran maju bersama calon Bupati Nur Jatmiko memang berniat bertarung habis-habisan. Dia berhadapan dengan Mundjirin, bupati petahana yang berpasangan dengan Ngesti Nugraha, juga anggota DPRD Kabupaten Semarang.
"Saya percaya kampanye di media sosial juga efektif dari sisi waktu dan biaya, sepanjang bisa dikelola dengan baik," tutur Mas'ud.
Namun, ia menambahkan, daya jangkau media sosial di Kabupaten Semarang masih terbatas. Jangkauannya belum setinggi kota-kota besar di Indonesia yang penetrasi internetnya sudah jauh lebih tinggi.
Di Indonesia, pengguna media sosial memang terus tumbuh. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 2013 menunjukkan, setidaknya ada 63 juta pengguna internet di Indonesia. Sebanyak 95 persen di antaranya menggunakan internet untuk mengakses situs jejaring sosial. Oleh karena itu, kemunculan ruang publik digital tersebut juga membuka kesempatan bagi politisi untuk berkampanye.
Interaksi multiarah
Douglas Hagar (2014) dalam Campaigning Online: Social Media in the 2010 Niagara Municipal Elections menuturkan, media sosial bisa berkontribusi pada keberhasilan politik. Ini karena media sosial membuat kandidat dalam sebuah pemilihan bisa berinteraksi dengan para calon pemilih dengan skala dan intensitas yang tak bisa dicapai lewat pola kampanye tradisional seperti kampanye dari pintu ke pintu, brosur, bahkan peliputan oleh media cetak dan televisi.
Selain itu, biaya kampanye media sosial juga jauh lebih murah karena tidak ada biaya yang langsung diasosiasikan dengan media sosial semacam Facebook, Twitter, dan Youtube.
Media sosial juga unggul karena memberi kesempatan para calon pemilih untuk berdialog dua arah dengan kandidat, tidak seperti model kampanye tradisional yang cenderung searah, dari kandidat ke calon pemilih. Sifat komunikasi politik antara kandidat dan calon pemilih bisa menjadi multiarah, seperti dari kandidat ke pemilih, pemilih ke kandidat, atau antarpemilih.
Modal komunikasi multiarah ini, menurut Tasente Tanase (2015) dalam The Electoral Campaign through Social Media: A Case Study-2014 Presidential Election in Romania, menjadi salah satu modal bagi kandidat untuk bisa meraih suara dalam pemilihan. Tasente berargumen, peluang dukungan media sosial menjadi suara dalam pemilihan lebih besar jika ada keterlibatan atau partisipasi aktif calon pemilih. Partisipasi aktif ini tidak harus berlangsung di akun media sosial si kandidat. Bisa saja pendukung kandidat itu menyebarluaskan materi kampanye dari akun kandidat, tetapi dengan pesan yang dipersonalisasi lalu memancing perbincangan dengan teman-temannya di dunia maya. Dengan kata lain, keaktifan itu lebih penting dari banyaknya orang yang menjadi "pengikut" di akun media sosial.
Tasente juga mengatakan dukungan di dunia maya tidak berdiri sendiri. Tidak selalu kesuksesan kampanye di media sosial otomatis membuat kandidat menang dalam sebuah pemilihan. Kampanye di media sosial juga harus diikuti dengan triangulasi metode kampanye. Artinya, kampanye media sosial yang gencar juga harus diikuti kampanye tatap muka ataupun bentuk kampanye tradisional lainnya. Ini karena penelitian di beberapa negara juga menunjukkan modal kampanye yang besar justru mendominasi tingkat keterpilihan ketimbang media sosial.
Pengaturan kampanye
Di Indonesia, penggunaan media sosial untuk kampanye bukan hal yang benar-benar baru. Hanya saja, baru pada pemilihan kepala daerah serentak 2015, Komisi Pemilihan Umum mengatur penggunaannya di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pilkada. PKPU itu menyebutkan, tim sukses wajib mendaftarkan akun resmi di media sosial kepada KPU daerah paling lambat sehari sebelum pelaksanaan kampanye.