JAKARTA, KOMPAS - Apresiasi terhadap peran kader-kader organisasi kemasyarakatan di tingkat nasional cenderung positif. Namun, muncul kegelisahan bahwa proses kaderisasi ormas secara umum saat ini cenderung melahirkan kader yang mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok.
Kaderisasi yang dilakukan secara massal oleh ormas tak selalu menghasilkan produk yang berkualitas. Nilai-nilai dasar ormas yang telah teruji puluhan tahun berhasil membentuk kader mumpuni, tetapi tak senantiasa menghasilkan kader dengan kualitas sama pada zaman berbeda. Gambaran itu terangkum dalam penilaian publik terhadap hasil kaderisasi ormas saat ini.
Berbeda dengan harapan ideal, lebih dari separuh responden (60, 1 persen) menengarai kaderisasi ormas saat ini cenderung bermotif kepentingan politik praktis ketimbang memajukan organisasi. Hampir 70 persen responden menyatakan kaderisasi ormas cenderung membentuk kader yang lebih memperjuangkan kepentingan kelompok dan pribadi di atas kepentingan bangsa.
Ini terbukti dari banyaknya kader yang cenderung menempuh jalur politik praktis secara "sempit" saat sudah populer. Ketika kedudukan sebagai wakil rakyat atau kepala daerah berhasil diraih, jabatan itu hanya digunakan sebagai sarana untuk meraup kekuasaan dan memperkaya diri. Persepsi tersebut membuahkan penilaian negatif terhadap perilaku kader ormas.
Separuh lebih responden (55,6 persen) berpandangan hasil kaderisasi saat ini justru melahirkan pemimpin yang korup. Kesan ini dikuatkan oleh banyaknya pejabat/penyelenggara negara yang memiliki latar belakang ormas yang tersandung kasus korupsi. Akibatnya, publik melihat para pemimpin hasil kaderisasi ormas kian jauh dari tujuan memperjuangkan kepentingan umum. Hanya satu dari lima responden yang menilai kaderisasi ormas telah berhasil dan melahirkan pemimpin yang sanggup menempatkan kepentingan bangsa di atas segalanya.
Publik juga mengkritisi soal ketidakadilan kesempatan terhadap kader perempuan dan laki-laki. Mayoritas memandang kaderisasi di dalam tubuh ormas lebih banyak memberikan kesempatan kepada kader lelaki daripada perempuan. Pendapat ini diutarakan 61,1 persen responden. Hanya 26,6 persen responden yang menyatakan pengaderan ormas telah memberikan kesempatan yang sama kepada kader perempuan dan laki-laki.
Lebih jauh lagi, kaderisasi dalam ormas masih dipandang lebih mengutamakan senioritas ketimbang kompetensi. Separuh publik (57,1 persen) berpendapat, senioritas menjadi faktor yang sangat memengaruhi kaderisasi organisasi. Hanya 31,7 persen responden yang meyakini kompetensi telah ditempatkan sebagai pijakan untuk proses kaderisasi.