JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi Abdullah Hehamahua mengatakan, pemerintah dan DPR terkesan saling lempar batu soal revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 mengenai KPK. Revisi UU KPK didorong masuk menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional 2015.
"Persoalannya, UU ini inisiatif siapa? Kata DPR, pemerintah. Kata pak Yasonna, (inisiatif) DPR. Saling lempar batu," ujar Abdullah di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (18/6/2015) malam.
Abdullah mengatakan, boleh saja UU KPK direvisi selama tidak mereduksi kewenangan KPK. Menurut dia, jika tujuannya untuk menguatkan KPK, maka perlu peran masyarakat untuk mengawasi agar tidak terjadi penyimpangan.
"Kalau mau kuatkan KPK, perlu gentlemen agreement. Pasal mana yang diganggu," kata Abdullah.
Abdullah menilai, ada sejumlah pasal yang semestinya menjadi poin peninjauan dalam revisi tersebut. Misalnya, sebut dia, Pasal 43 dan 45 mengenai pengangkatan penyelidik dan penyidik. Menurut dia, semestinya diatur penyelidik dan penyidik KPK tidak hanya direkrut dari Polri dan Kejaksaan. "KPK boleh merekrut penyidik penyelidik dari mana saja," kata Abdullah.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sebelumnya menyebutkan, ada lima peninjauan yang harus dilakukan dalam revisi UU KPK ini. Pertama, kewenangan penyadapan agar tidak menimbulkan pelanggaran HAM, yaitu hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang telah diproses pro justitia. Kedua, peninjauan terkait kewenangan penuntutan yang perlu disinergikan dengan kewenangan Kejaksaan Agung.
Ketiga, dewan pengawas perlu dibentuk untuk mengawasi KPK dalam menjalankan tugasnya. Keempat, perlu ada pengaturan mengenai pelaksanaan tugas pimpinan jika berhalangan. Kelima, mengenai penguatan terhadap pengaturan kolektif kolegial.
Yasonna kemudian mengatakan bahwa sebenarnya DPR yang menginginkan adanya revisi terhadap UU KPK. "Itu usul inistiatif DPR, bukan pemerintah," ujar Yasonna.
Yasonna menjelaskan, sejak lama DPR ingin agar UU KPK direvisi. Sehingga usulan itu pun dimasukkan dalam program legislasi nasional lima tahunan, di masa pemerintahan baru. DPR, sebut Yasonna, menganggap bahwa ada ketidaksempurnaan dalam undang-undang yang ada. Undang-undang itu dinilai tidak lagi mampu menghadapi tantangan KPK sekarang, terutama menyangkut gugatan praperadilan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.