Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anomali Demokrasi

Kompas.com - 03/06/2015, 15:13 WIB


Oleh: Yasraf Amir Piliang

JAKARTA, KOMPAS - Setiap pergantian rezim selalu menjanjikan harapan perubahan masa depan. Gagasan "revolusi mental" yang diusung Joko Widodo-sebagai panduan perubahan, dan menjadi agenda Kabinet Kerja-telah membentangkan jutaan harapan rakyat Indonesia bagi perubahan cepat, segera, dan radikal di aneka bidang: penegakan hukum, pemberantasan korupsi, pembangunan kualitas manusia, dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Akan tetapi, setiap perubahan menuntut "kekuasaan nyata", yaitu pemimpin yang dituruti, diikuti, dan dipatuhi secara nyata, bukan sekadar simbolik. Kekuasaan semacam ini diharapkan mampu menciptakan kedisiplinan, kepatuhan, dan loyalitas terhadap otoritas kekuasaan sebagai syarat mutlak perubahan. Bila kekuasaan nyata ini tak bekerja, perubahan akan bergerak seperti bola liar, yang dapat membawa kepada situasi ketakpastian dan kaos.

Sayangnya kekuasaan nyata itu tak mampu ditunjukkan Jokowi. Berbagai ketakpatuhan, ketakdisiplinan, dan ketaktaatan diperlihatkan bawahannya, yang menunjukkan degradasi kekuasaan tertinggi negara. Di pihak lain, ada semacam "kekuasaan tak tampak", yang meski tak terlihat, tetapi mampu menunjukkan efek kekuasaannya dalam "mengendalikan" dan "mengarahkan" perubahan.

Anomali kekuasaan

Kekuasaan sangat sentral dalam setiap perubahan karena perubahan perlu kekuatan pendorong, energi dan mesin penggerak. Makna kekuasaan paling luas adalah "potensi bagi perubahan", yaitu kemampuan mencapai tujuan bersama, baik pada tingkat keluarga, kelompok, organisasi, lembaga keagamaan, perusahaan, partai politik, dan negara-bangsa. Kekuasaan adalah "kapasitas' untuk mengubah potensi menjadi kenyataan. (Boulding 1989)

Kekuasaan "normal" dalam sistem demokrasi ditunjukkan oleh kemampuan otoritas kekuasaan merealisasikan segala potensi bagi perubahan, yang ditampakkan pula oleh kedisiplinan, kepatuhan, dan ketaatan aparat-aparat negara yang terlibat di dalamnya, serta berfungsinya aparatus negara yang ada. Dalam hal ini, "kapasitas" bagi perubahan ditunjukkan efektivitas relasi tiga unsur perubahan: pemimpin tertinggi, aparat, dan aparatus.

"Aparatus" adalah segala sesuatu yang memiliki kapasitas mengarahkan, menentukan, memodelkan, mengendalikan atau mengamankan gestur, perilaku, opini atau wacana yang berkaitan dengan perubahan. Di antara aparatus ini adalah sekolah, ruang pengadilan, penjara, tempat ibadah, ruang rehabilitasi, istana presiden, persenjataan, UU, bahkan tulisan, filsafat, karya seni, media, dan bahasa. Aparatus adalah "kendaraan" di mana kekuasaan dimanifestasikan. (Agamben 2009).

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com