Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembatasan Remisi bagi Koruptor Sebaiknya Diatur dalam Undang-Undang

Kompas.com - 18/03/2015, 07:42 WIB
Abba Gabrillin

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono mengatakan, pro-kontra mengenai aturan pemberian remisi bagi koruptor sebaiknya diselesaikan dengan merevisi undang-undang. Menurut dia, pembatasan remisi khusus bagi para koruptor seharusnya dimasukkan dalam undang-undang yang lebih tinggi dari peraturan pemerintah.

"Polemik yang saat ini terjadi memerlukan penyelesaian dengan melakukan perubahan secepatnya terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, untuk memuat aturan mengenai pengetatan atau pembatasan narapidana yang berhak mendapatkan remisi," ujar Bayu kepada Kompas.com, Selasa (17/3/2015).

Bayu mengatakan, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012,  secara hirarki tidak cukup untuk menjadi dasar legalitas penghapusan pemberian remisi bagi koruptor. Hal ini mengingat  UU No 12 Tahun 1995 sebagai induk dari PP 99 Tahun 2012 telah mengubah fungsi pemidanaan sebagai usaha pembinaan, yang mendorong narapidana menjadi warga binaan yang menyadari kesalahan dan memperbaiki diri.

Bayu menambahkan, jika saat ini publik menginginkan remisi dikecualikan bagi pelaku tindak pidana korupsi, narkoba, terorisme dan kejahatan luar biasa lainnya, maka sesuai prinsip legalitas hukum, hal itu harus dilakukan dengan mengubah UU No 12 Tahun 1995 terlebih dahulu.

"Meski PP itu maksudnya baik, namun tetap tidak bisa melampaui UU yang menjadi induknya. Jadi hal-hal baik dalam PP itu bisa dimasukkan dalam undang-undang," kata Bayu.

Untuk itu, menurut Bayu, agar menciptakan kepastian hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, maka DPR bersama Pemerintah sebagai pembentuk UU sebaiknya segera melakukan pembahasan rancangan undang-undang perubahan UU No 12 Tahun 1995.

Ia mengatakan, dalam pembahasannya, DPR juga dapat melibatkan praktisi hukum serta pegiat antikorupsi, agar undang-undang dapat benar-benar mencerminkan kehendak publik.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly tidak sepakat dengan PP No 99 Tahun 2012 tentang pembatasan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi tindak pidana kejahatan luar biasa. Menurut dia, seburuk-buruknya napi kasus korupsi, mereka tetap harus diberikan haknya untuk mendapat keringanan hukuman, seperti narapidana kasus lain.

Namun, pernyataan Yasonna tersebut dianggap bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Para pegiat antikorupsi meminta agar Yasonna mengkaji ulang wacana pemberian remisi bagi koruptor.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com