Oleh:
KOMPAS.com - Saat diadili di pengadilan Heliast pada 399 sebelum Masehi, Socrates mengingatkan agar penegakan hukum tidak didasarkan oleh kepentingan lain, selain hukum itu sendiri. Kala itu, filsuf terkemuka Yunani Kuno tersebut menganggap dirinya telah dikriminalisasi atas dasar kebencian penguasa terhadapnya. Kriminalisasi terbukti masih terjadi hingga kini.
Peristiwa penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang terjadi lebih dari dua milenium lalu itu masih dirasakan hingga kini. Itu terbukti dalam perseteruan dua institusi penegak hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dalam lakon ”Cicak versus Buaya jilid III”, akhir-akhir ini.
Begitu KPK menetapkan calon Kapolri Komisaris Jenderal (Komjen) Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi pada 13 Januari 2015, selang 10 hari kemudian ganti pimpinan KPK Bambang Widjojanto dijadikan tersangka oleh Polri. Tuduhannya, mengarahkan saksi memberikan keterangan palsu.
Sulit menampik ketiadaan faktor kriminalisasi dan abuse of power dalam tragedi Cicak versus Buaya ini. Apalagi, penyidikan kasus Bambang Widjojanto yang terkesan dipaksakan juga diikuti penyelidikan terhadap tiga pimpinan KPK yang lain atas dasar sejumlah pengaduan yang tiba-tiba muncul.
Diperlukan proses hukum dan kajian panjang untuk memastikan ada tidaknya penyalahgunaan kekuasaan, baik oleh KPK maupun Polri dalam kasus Budi dan Bambang.
Meski demikian, abuse of power, seperti juga halnya pelanggaran etika, ketidakprofesionalan, dan rendahnya integritas penegak hukum merupakan hal nyata yang kental dirasakan warga, dari dulu hingga kini.
Inilah salah satu yang membuat institusi penegak hukum belum mendapatkan kepercayaan dan simpati luas dari masyarakat. Reformasi institusi penegak hukum ibarat masih digelayuti awan hitam.
Berdasarkan jajak pendapat Litbang Kompas terhadap penegakan hukum 2014, tingkat kepuasan terhadap kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman relatif masih rendah. Untuk kejaksaan, misalnya, hanya 29,5 persen responden yang menyatakan puas. Hanya KPK yang diapresiasi tinggi dengan level kepuasan terhadap kinerja mencapai 72,2 persen.
Akibatnya, sebagian besar responden (67 persen) menilai kinerja penegak hukum sepanjang 2014 belum berhasil mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Dalam tataran global, indeks hukum Indonesia dinilai sedang-sedang saja, tidak terlalu bagus, juga tidak terlalu buruk.
Itu tercermin dari Rule of Law Index 2014 yang disusun The World Justice Project, lembaga swadaya masyarakat internasional yang berpusat di Amerika Serikat, dan Indonesia berada pada peringkat 46 dari 99 negara dengan perolehan skor 52.
Cenderung memburuk
Dibandingkan pada tahun 2013, kinerja aparat penegak hukum sepanjang 2014 bahkan terindikasi cenderung memburuk pada beberapa hal.
Ombudsman RI mencatat, laporan pengaduan masyarakat terhadap kepolisian meningkat 17 persen, dari 668 pada 2013 menjadi 778 pada 2014. Kepolisian menjadi institusi yang terbanyak dilaporkan setelah pemerintah daerah (pemda).