"Kita bisa lihat teknisnya, ini sudah dalam struktur ketatanegaraan kita bahwa undang-undang bisa dinyatakan bertentangan dengan UUD oleh Mahkamah Konstitusi. Bila itu bisa dinafikkan oleh surat edaran Mahkamah Agung, bagaimana struktur teori ini? teorinya bisa rusak," kata Harjono, di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (5/1/2015).
Ia menilai, sebaiknya yang diatur bukan batas waktu pengajuan PK melainkan ketentuan novum atau bukti baru yang menjadi dasar pengajuan PK. Misalnya, pengaturan mengenai saksi yang dihadirkan dalam sidang PK.
"Apakah itu betul novum baru? Ketentuan-ketentuan itu, bila kemudian yang dihadirkan adalah saksi yang pernah hadir ya tidak usah karena dulu sudah pernah, karena seringkali cari-cari alasan saja, mengaturnya saya kira disitu bukan membatasi satu kalinya," kata Harjono.
Menurut dia, seorang terpidana harus diberikan kesempatan untuk mengajukan PK lebih dari satu kali. Apalagi, jika putusan hakim atas perkara terpidana itu diputuskan berdasarkan petunjuk-petunjuk di pengadilan saja.
"Ada hal-hal penjatuhan pidana yang sebetulnya disebabkan berdasarkan petunjuk-petunjuk saja, di situ sampai ada kesalahan disitu harus diberi kesempatan dan itu terbuka untuk novum, jadi jangan hanya praktis saja masalahnya," kata Harjono.
Hal ini berbeda jika seorang terpidana dihukum karena alasan yang jelas seperti tertangkap tangan membunuh, atau tertangkap tangan membawa narkoba.
"Pembunuhan yang tertangkap tangan dan terencana saya kira novum tidak akan ada lagi. Bagaimana novum akan ditemukan di depan banyak orang dia membunuh? atau narkoba, dia membawa sendiri dan tertangkap tangan di bandara itu jelas," sambung dia.
Terkait alasan pemerintah yang merasa terhalangi putusan MK untuk melakukan eksekusi kepada terpidana narkoba, Harjono menilai putusan yang memperbolehkan PK berkali-kali tersebut bukan alasan utama. Ia menyebut kasus terpidana narkoba Gunawan Santoso yang batal dieksekusi padahal tidak mengajukan PK.
"Kalau tidak pernah mengajukan PK, jangan ditunggu kapan akan ajukan PK. Tidak mengajukan PK ya dieksekusi saja enggak usah ditunggu. Gunawan Santoso itu ya, kan tidak mengajukan PK kenapa dia bisa terhambat? Enggak ada alasan. Jadi bila dikatakan tertunda oleh PK ya dilihat kasus per kasus apa iya seperti itu? Ternyata Gunawan Santoso tidak pernah mengajukan PK, sudah beberapa tahun tidak segera dieksekusi," papar dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, MA menerbitkan Surat Edaran yang intinya membatasi waktu pengajuan PK sehingga hanya boleh satu kali. Surat Edaran MA ini bertentangan dengan putusan MK yang menyatakan bahwa ketentuan pembatasan PK dalam hukum acara pidana adalah inkonstitusional. Sejumlah pihak menilai Surat Edaran MA ini inkonstitusional.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta Mahkamah Agung mencabut Surat Edaran bernomor 7/2014 tentang pembatasan Peninjauan Kembali tersebut. Di samping dianggap melanggar konstitusi, ICJR menduga surat edaran MA itu lahir karena intervensi pemerintah melalui Menko Polhukam dan Jaksa Agung terhadap MA terkait dengan pembatasan Peninjauan Kembali dalam KUHAP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.