Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menlu AS Desak Pengusutan Otak Pembunuhan Munir

Kompas.com - 07/09/2014, 20:14 WIB


Memperingati 10 tahun tewasnya Munir, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry, mendesak pemerintah Indonesia untuk menegakkan keadilan dan menghukum pelaku pembunuhan aktivis hak asasi manusia Indonesia itu.

"Hingga hari ini keadilan belum ditegakkan. Upaya menyeret mereka yang diduga bertanggung jawab ke muka hukum juga masih belum tercapai," ujar Kerry dalam pernyataan tertulis yang dikeluarkan Sabtu (6/9/2014).

Kerry menambahkan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004 mengakui bahwa penyelesaian menyeluruh kasus pembunuhan Munir merupakan ujian penting bagi demokrasi Indonesia.

"Hingga hari ini pernyataan itu masih tepat. Amerika mendukung semua upaya untuk membawa orang-orang yang memerintahkan pembunuhan Munir ke muka hukum," ujar dia.

Kerry mengatakan, Munir adalah suara hati nurani dan kejernihan berpikir yang telah menjadi inspirasi bagi aktivis, ilmuwan, dan pelayan publik yang kini sedang berjuang memajukan Indonesia.

"Hari ini Amerika bersama rakyat Indonesia memperingati warisan Munir Said Thalib dan kami menyerukan perlindungan bagi semua pihak yang bekerja demi perdamaian, demokrasi, dan hak asasi manusia di seluruh dunia," ujar Kerry dalam akhir pernyataan.

Munir meninggal di dalam pesawat Garuda Indonesia menuju Amsterdam pada 7 September 2004 dalam perjalanan untuk menempuh pendidikan S2 di Utrecht, Belanda.

Dalam penyelidikan diketahui ia meninggal tak wajar. Otopsi yang dilakukan pemerintah Belanda atas jenazah almarhum mendapati racun arsenik dalam kadar mematikan di dalam tubuhnya.

Munir memang dikenal tidak pernah takut memperjuangkan HAM dan sering membuat pihak yang dikritiknya gerah. Ia pernah melawan Kodam V Brawijaya ketika memperjuangkan kasus kematian Marsinah, aktivis buruh di Sidoarjo, Jawa Timur, yang diculik dan disiksa dengan brutal hingga tewas.

Munir juga tak gentar menyelidiki kasus hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta pada masa reformasi 1997-1998, termasuk kasus penembakan mahasiswa di Trisakti (1998), Semanggi (1998 dan 1999) hingga pelanggaran HAM semasa referendum Timor Timur (1999).

Presiden Yudhoyono pada 23 Desember 2004 membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir yang diketuai petinggi Kepolisian saat itu, Brigjen (Pol) Marsudi Hanafi, dan melibatkan sejumlah masyarakat sipil.

Setahun kemudian polisi resmi menetapkan pilot Garuda Pollycarpus Budihari Priyanto sebagai tersangka pembunuh Munir. Dalam sidang pengadilan, hakim Cicut Sutiarso menyatakan Pollycarpus, yang sedang cuti dan sempat bertukar tempat duduk dengan Munir dalam penerbangan dari Jakarta-Singapura, menaruh arsenik dalam makanan Munir karena ingin membungkam aktivis itu. Pollycarpus dijatuhi vonis 14 tahun penjara.

Tiga tahun kemudian, pada 19 Juni 2008, Mayjen (Purn) Muchdi PR, mantan petinggi Badan Intelijen Negara (BIN), juga ditangkap karena diduga menjadi otak pembunuhan Munir. Sejumlah bukti kuat dan kesaksian mengarah padanya, tetapi pada akhir 2008 Muchdi divonis bebas. Vonis yang kontroversial ini kemudian ditinjau ulang dan tiga hakim yang memvonisnya kini diperiksa pihak berwenang.

Sejak pembunuhan Munir, para aktivis HAM di Indonesia memperingati tanggal 7 September sebagai Hari Pembela HAM Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Nasional
Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Nasional
Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Nasional
Ganjar Bubarkan TPN

Ganjar Bubarkan TPN

Nasional
BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

Nasional
TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

Nasional
Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

Nasional
Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Nasional
Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Nasional
Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Nasional
Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Nasional
Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com