Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komnas HAM Tunggu Kesaksian Kivlan Zen

Kompas.com - 25/06/2014, 10:21 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membentuk Tim Pemantauan dan Penyelidikan 13 Aktivis yang diculik pada 1997/1998 dan sampai sekarang belum diketahui keberadaannya. Salah satu agenda tim ini mengupayakan kesaksian mantan Kepala Staf Kostrad Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen.

Tim itu beranggotakan sejumlah komisioner Komnas HAM, seperti Otto Nur Abdulah, Nur Kholis, Roichatul Aswidah, Siti Noor Laila, Nur Khoiron, Manager Nasution, dan Anshori Sinongan.

Juru bicara tim, Roichatul, Senin (23/6), di Jakarta, mengatakan, Komnas HAM sudah menyelesaikan penyelidikan kasus penculikan aktivis pada 1997/1998. Saat ini berkas hasil penyelidikan kasus itu sudah di Kejaksaan Agung. ”Namun, agar proses hukum tetap berjalan, kami membentuk tim untuk mendalami informasi dan fakta-fakta baru,” kata dia.

Ke-13 aktivis yang diculik dan sampai sekarang belum diketahui keberadaannya itu adalah Dedy Hamdun, Herman Hendrawan, Hendra Hambali, Ismail, M Yusuf, Noval Al Katiri, Petrus Bima Anugrah, Sony, Suyat, Ucok Munandar, Yadin Muhidin, Yani Afri, dan Wiji Thukul.

Menurut Roichatul, tim Komnas HAM akan memanggil Kivlan Zen terkait dengan pernyataannya di sebuah acara televisi pada 28 April lalu. Ia mengatakan mengetahui peristiwa penghilangan paksa ke-13 aktivis itu.

”Kami memanggil Kivlan karena merupakan hak keluarga korban untuk mengetahui kabar dan informasi keberadaan saudara-saudara mereka yang masih dinyatakan hilang. Sekecil apa pun informasi soal penghilangan orang, penting bagi institusi negara untuk melakukan pendalaman fakta,” ujar Roichatul.

Kivlan sudah dua kali dipanggil, tetapi menolak hadir. Jika pada panggilan ketiga yang akan dilakukan akhir Juni Kivlan kembali tidak hadir, menurut Roichatul, Komnas HAM akan berkoordinasi dengan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk melakukan pemanggilan paksa.

Kejahatan berkelanjutan

Novridaniar Dinis (18), putri dari korban penculikan Yadin Muhidin, berharap, Pemerintahan Indonesia berikutnya lebih menghormati demokrasi dan HAM.

”Saya berusia dua tahun ketika ayah saya hilang. Kemudian, nenek yang memperjuangkan nasib ayah saya meninggal. Ibu juga sudah meninggal. Sekarang saya hidup sendiri. Mungkin Anda semua tak tahu rasanya tiap malam menangis tidak tahu nasib orangtua sendiri. Masih hidup atau sudah matikah?” kata Dinis.

Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia Mugiyanto, yang jadi salah satu dari sembilan korban penculikan yang dilepaskan, menegaskan, kasus 13 orang yang hilang itu masuk dalam kejahatan berkelanjutan dan tidak masuk kategori kejahatan masa lalu. Salah satu cara untuk menyelesaikan kasus itu adalah minta bantuan internasional.

Mugiyanto mengingatkan, mekanisme internasional bisa diterapkan karena penghilangan paksa merupakan kejahatan universal. (A14/ong)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Nasional
Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Nasional
Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Nasional
Kabaharkam Siapkan Strategi Pengamanan Khusus di Akses Masuk Pelabuhan Jelang WWF ke-10 di Bali

Kabaharkam Siapkan Strategi Pengamanan Khusus di Akses Masuk Pelabuhan Jelang WWF ke-10 di Bali

Nasional
Ketua KPU Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada, Pakar: Jangan-jangan Pesanan...

Ketua KPU Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada, Pakar: Jangan-jangan Pesanan...

Nasional
Sebut Caleg Terpilih Tak Wajib Mundur jika Maju Pilkada, Ketua KPU Dinilai Ingkari Aturan Sendiri

Sebut Caleg Terpilih Tak Wajib Mundur jika Maju Pilkada, Ketua KPU Dinilai Ingkari Aturan Sendiri

Nasional
Minta La Nyalla Kembali Pimpin DPD RI, Fahira Idris: Penguatan DPD RI Idealnya Dipimpin Sosok Pendobrak

Minta La Nyalla Kembali Pimpin DPD RI, Fahira Idris: Penguatan DPD RI Idealnya Dipimpin Sosok Pendobrak

Nasional
Sejumlah Bantuan Jokowi ke Prabowo Siapkan Pemerintahan ke Depan...

Sejumlah Bantuan Jokowi ke Prabowo Siapkan Pemerintahan ke Depan...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com