Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dramaturgi Pemilu

Kompas.com - 03/04/2014, 10:22 WIB


Oleh:

KOMPAS.com - SEBELUM seluruh pemerintah daerah dan Kementerian Lingkungan Hidup—seharusnya—melarang pemasangan segala bentuk atribut kampanye di pohon-pohon dan menarik pajak untuk penggunaan ruang publik, mungkin ada baiknya kita meminta seluruh calon anggota legislatif yang tengah bertempur pada masa pemilihan sekarang ini untuk menghitung ulang atau mempertimbangkan kembali pencalonan dirinya itu.

Sekurangnya untuk satu alasan dasar: berdasarkan prestasi sosial apakah hingga Anda merasa pantas mengajukan diri menjadi wakil sekelompok masyarakat (konstituen) dan memperjuangkan hak serta kepentingan mereka apabila selama ini mereka bekerja ”sekadar” sebagai profesional, pengusaha, karyawan, atau pegawai negeri yang notabene melulu berorientasi pada kebutuhan dan kepentingan pribadi?

Apakah rekam jejak yang minim bahkan nihil dalam soal di atas dapat dan wajar diatasi dengan hanya sekadar menampilkan habis-habisan wajah dengan senyum dipaksakan dan sedikit slogan yang sering justru mempermalukan diri sendiri itu? Lalu, jika Anda punya sedikit uang lebih, menawarkan sembako, selembar uang bergambar I Gusti Ngurah Rai, atau organ tunggal dengan tiga penyanyi dangdut amatir?

Namun, demikianlah ajang prestisius secara politis yang bernama pemilihan umum di negeri ini diselenggarakan macam sebuah panggung drama dengan opening cukup menggelikan seperti ilustrasi di atas. Gambar dan berbagai atributnya mengambil lanskap kota, desa, bahkan jalanan berdebu sebagai panggung yang riuh, menyesakkan, dan sungguh mengganggu citra visual masyarakat secara umum. Lalu aktor-aktornya bermunculkan tanpa sama sekali memiliki kemampuan berperan yang memadai bahkan mungkin tak memiliki bakat sama sekali.

Persoalan (di tingkat bawah) ini sangat penting dikemukakan sebagai landasan fakta dari argumen yang mempertanyakan pencalonan-pencalonan di tingkat lebih tinggi, termasuk pencalonan seseorang untuk menjadi presiden Republik Indonesia. Selama beberapa bulan terakhir kita disuguhi semacam game pencitraan yang dramatik atau lebih tepat sebuah drama pencalonan presiden yang menciptakan satu realitas ilusif atau imajinatif layaknya sebuah panggung pertunjukan.

Bagaimana tidak jika sekonyongkonyong kita dihadapkan—hampir setiap menit dalam pergaulan kita yang intens dengan media dalam pelbagai bentuk dan manifestasinya—pada wajah dan nama-nama yang memaksa sistem kognitif kita menerima mereka sebagai calon pemimpin kita, pemimpin 240 juta kita. Dengan satu kondisi yang jujur harus diakui kita tidak tahu apa yang telah mereka lakukan selama ini—di luar tanggung jawab profesional dan kedinasannya—untuk kemaslahatan dan kepentingan (240 juta) kita.

Lalu tiba-tiba beberapa nama itu melompat ke deret atas dari peringkat calon presiden paling berpotensi, menciptakan semacam persepsi yang kuat bahwa mereka semua adalah ”tokoh nasional” yang pantas—entah dengan alasan apa—menjadi pemimpin nasional. Persepsi ini dibentuk dengan cara seperti terurai di awal, tulisan diteruskan oleh media-media massa utama, baik cetak, audio, visual maupun daring. Lalu dengan persepsi yang tertanam kuat itu, lembaga-lembaga survei melakukan pendataan persepsi di kalangan masyarakat tertentu untuk pada akhirnya memperkuat ”keberadaan” nama dan wajah yang kita gelap dengan rekam jejaknya itu.

Kebenaran artifisial

Inilah sesungguhnya arti lain dari sebuah pesta demokrasi bernama pemilu: rakyat sebagai penonton (entah membayar dengan uang atau suara) disuguhi sebuah fait accompli pertunjukan teatrikal yang pada dasarnya ”seolah-olah”. Dalam bahasa agak teoretis, media massa dibantu antara lain oleh lembaga survei mengondisikan kita (masyarakat pada umumnya) menerima pencitraan yang mereka buat dan suguhkan sebagai sebuah ”kebenaran”. Semacam ”kebenaran” yang ditawarkan iklan tentang mobil premium dengan kemewahan puncak, gadget dengan fitur tercanggih, atau bintang film tercantik dan akting terbaik. Semua tidak lain kita terima tidak berdasarkan pada faktualitas, tetapi melulu artifisialitas data. Kemampuan finansial dan akses besar seseorang pada media lebih menentukan ketimbang realitas riwayat hidupnya bekerja bagi kemaslahatan orang banyak.

Di sinilah alasan mengapa tokoh-tokoh alternatif sulit muncul dan bersaing dengan mereka yang memiliki kemampuan dan akses besar di atas. Sehebat apa pun seseorang yang berpotensi menjadi pemimpin, ia tidak akan mampu mengalahkan seseorang yang bisa menampilkan wajahnya hingga setengah halaman, bahkan hingga delapan foto ukuran besar dalam sehari di koran, atau belasan kali di televisi yang dimilikinya.

Atau bagaimana mengalahkan seseorang yang bisa menyewa belasan bus setiap hari untuk mengajak orang satu desa atau satu RW di berbagai wilayah Indonesia pelesir bersama sambil mengajak mereka memilih nomor dan nama tertentu pada saat pemilihan. Bagaimana dapat bersaing program dengan seseorang yang memiliki semacam think-tank berisi lulusan pasca sarjana untuk menyusun sebuah program ”melulu janji”. Merekalah yang menurut survei dan media massa berada dalam top of mind dan memiliki peluang besar sebagai calon presiden. Kenyataan artifisial yang disesakkan begitu saja lewat sebuah desain yang kita sendiri hampir tidak menyadari bahkan menerimanya begitu saja (taken for granted).

Dan rakyat umum tidak memiliki ruang dan peluang untuk mempertanyakan, menganalisis, atau menyikapi secara kritis realitas itu atau ”kebenaran” itu, misalnya sekadar membandingkan apa yang mereka, para calon, semburkan sebagai janji atau program dengan apa yang pernah mereka lakukan di persoalan yang sama. Saya kira jika penilaian berdasarkan perbandingan semacam ini sungguh-sungguh dilakukan, sebagian besar nama-nama di atas akan gugur dari daftar unggulan.

Pengorbanan rakyat

Tampaknya kita harus berani untuk memulai dengan sedikit hal baik dan benar demi memperbaiki semua itu. Memperbaiki cara kita memproses atau menyeleksi pemimpin yang kita inginkan. Saya kira hal pertama dari itu adalah kejujuran. Semua orang memang berhak merasa dan bernafsu menjadi pemimpin. Namun, setidaknya ia harus jujur kepada publik, kepada dirinya sendiri, kepada apa yang pernah dilakukannya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com