"Tidak ada (sanksi), kecuali nyata-nyata melakukan pelanggaran dalam proses penyidikan," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen (Pol) Boy Rafli Amar di Mabes Polri, Senin (6/1/2014). Keputusan kasasi Mahkamah Agung (MA) keluar setelah polisi gagal menghadirkan saksi lain yang menerangkan bahwa Rudy merupakan pengguna dan pengedar.
Majelis kasasi juga menilai dakwaan jaksa tidak menyertakan bukti yang kuat. Misalnya, penyidik tak melakukan tes urine pada Rudy, sebagaimana prosedur penanganan dalam kasus penyalahgunaan narkoba.
Tes urine tak wajib
Menurut Boy, hasil tes urine hanyalah alat bukti pendukung dalam kasus penyalahgunaan narkoba. Alasannya, kata Boy, tes urine semata pendapat dari ahli yang menyatakan seseorang positif mengonsumsi narkoba.
Alat yang terbukti paling penting dalam kasus Rudy, sebut Boy, adalah narkoba itu sendiri. Jika tes urine menunjukkan seseorang positif mengonsumsi narkoba, tetapi tidak ditemukan narkoba ada pada dirinya, maka lebih sulit untuk membuktikan seseorang bersalah terkait penyalahgunaan narkoba.
"Tes urine bukan alat bukti yang wajib, kalau ada padanya (sabu)," tekan Boy. "Orang sudah dites urine, tetapi tidak ada alat bukti yang lain (sabu), maka tidak cukup alat buktinya juga."
Boy mengatakan, Polri tidak khawatir kasus ini akan menjadi preseden buruk bagi institusi mereka. Polri berpegang pada temuan barang bukti 0,2 gram sabu yang didapatkan ketika indekos Rudy digerebek.
Vonis Pengadilan Negeri Surabaya, yang dikuatkan Pengadilan Tinggi Jawa Timur, yang menyatakan Rudy terbukti bersalah, juga menjadi pegangan lain. Kedua pengadilan menyatakan bahwa Rudy bersalah dan menjatuhkan hukuman penjara 4 tahun dan denda Rp 800 juta kepada Rudy.
"Kami serahkan (putusan) kepada beliau (majelis hakim). Yang jelas, yang bersangkutan pengguna, sekaligus pembeli yang berulang," lanjut Boy. Dia mengatakan, bukan baru sekali Rudy menggunakan narkoba. "Berulang dan barang buktinya ada."