Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPK: Penghulu Terima Amplop Termasuk Gratifikasi

Kompas.com - 06/12/2013, 09:52 WIB
Icha Rastika

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi mengungkapkan, seorang penghulu bisa dikatakan menerima gratifikasi jika dia mengambil ongkos biaya nikah lebih dari yang ditetapkan peraturan pemerintah. Menurut Johan, gratifikasi (hadiah) yang diterima penghulu itu bisa digolongkan korupsi jika tidak dilaporkan si penghulu paling lambat 30 hari setelah diterima.

"Definisi gratifikasi itu kan menerima dalam kaitan dengan tugas dia, tetapi tidak diatur. Misalnya, tarif nikah Rp 10.000, dia dikasih Rp 100.000, nah yang Rp 90.000 gratifikasinya kalau masuk ke kantong dia. Uang itu masuk ke kas negara atau ke kantong dia?" kata Johan, saat dihubungi, Jumat (6/12/2013).

Dia mengomentari kasus Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kediri Kota sekaligus petugas pencatatan nikah (P2N) Romli yang ditahan Kejaksaan Agung setelah ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi biaya pencatatan nikah. Romli diduga memungut biaya nikah sebesar Rp 225.000 untuk pernikahan di luar kantor dan Rp 175.000 di dalam kantor.

Dari nominal itu, Romli mendapatkan jatah Rp 50.000 sebagai petugas pencatat nikah plus Rp 10.000 sebagai insentif Kepala KUA. Padahal, peraturan pemerintah yang mengatur soal itu hanya memungut biaya nikah sebesar Rp 30.000 saja. Diduga Romli melakukan perbuatan itu selama kurun waktu 2 Januari 2012 hingga 31 Desember 2012 dengan jumlah pernikahan sebanyak 713.

Johan mengatakan, sekecil apa pun gratifikasi yang diterima seseorang tetap bisa dikatakan korupsi jika tidak dilaporkan ke pihak berwajib dalam waktu maksimal 30 hari. Tidak ada batas minimal gratifikasi yang diatur dalam undang-undang.

"Karena memang tidak ada ukurannya, enggak ada batas minimal, sekecil apa pun bisa dilihat gratifikasi," katanya.

Terkait pungutan liar dalam pelayanan nikah ini, menurut Johan, KPK telah membahasnya dengan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama yang kini dipimpin mantan Wakil Ketua KPK M Jasin.

Ke depannya, menurut Johan, diperlukan perbaikan dalam pelayanan nikah, misalnya dengan memperketat sistem pengawasan dan memperjelas berapa sebenarnya tarif nikah yang ditetapkan pemerintah agar masyarakat tidak lagi membayar lebih biaya nikah.

"Bagaimana integritas orang-orangnya, kalau sudah dikasih negara tapi masih menerima, kan patut dipertanyakan, sistemnya apakah masih menimbulkan peluang terjadinya korupsi, lalu pengawasannya, apakah atasannya memecat atau tidak kalau ada penghulu yang terima uang," tutur Johan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com