Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Arief Hidayat Ungkap Kesaksian Palsu di MK

Kompas.com - 29/11/2013, 15:46 WIB
Sabrina Asril

Penulis

SEMARANG, KOMPAS.com — Menjadi wakil Tuhan di dunia bukanlah pekerjaan mudah. Hakim diminta untuk independen dan berempati kepada masyarakat. Namun, di dalam prosesnya, hakim juga manusia. Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat bercerita betapa pusingnya dia saat harus menghadapi kesaksian palsu ketika menangani sengketa pemilu kepala daerah.

"Saya pusing ketika jadi hakim MK. Ada satu daerah yang saya tangani itu semua bohong dalam pengadilan," ujar Arief dalam diskusi hukum progresif yang diadakan Satjipto Rahardjo Institute di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (29/11/2013).

Meski sudah diminta sumpah, ternyata saksi itu terus berkata bohong. Arief lalu memutar otaknya untuk menentukan mana fakta yang sebenarnya. Saksi lain, kata Arief, juga berbohong di dalam perkara yang sama.

Guru besar Universitas Diponegoro ini sejak awal mencurigai keterangan saksi itu. Pasalnya, Arief ingat bahwa saksi itu sempat bersaksi di dalam kasus pilkada lainnya. Saat ditanyakan itu kepada si saksi, sebuah fakta mencengangkan terungkap.

"Dia oleh pihak terkait diberi 1.000 amplop, masing-masing diisi Rp 50.000. Dulu dia dikasih duit sama yang menang, sekarang dia bersaksi yang lain. Politik Indonesia yang seperti ini yang mau kita praktikkan?" kata Arief.

Setelah menangani banyak sengketa pilkada, Arief menemukan banyak fakta pahit. Kasus saksi palsu yang ditanganinya adalah sebagian kecil saja yang terjadi. Kenyataannya, banyak kasus pilkada yang bermasalah. Akhirnya, terjadi banyak keraguan di setiap lembaga di negeri ini.

Sebelumnya, Arief juga sempat bercerita soal saksi palsu ini. Arief mengaku dalam memutuskan kasus sengketa pilkada dengan saksi palsu membuatnya harus berkeliling lima pusat perbelanjaan di Jakarta untuk menenangkan pikirannya.

"Masyarakat kita dihinggapi disorientasi, distrust, tidak saling percaya. Padahal, kalau kita mau jadi DPR, bupati, wali kota, dosen, asalkan kita berorientasi kepada kehidupan sesudah kematian, selesai," ujarnya.

Arief setuju dibutuhkan seorang hakim yang progresif. Hakim harus menjadi pengadil yang berpihak kepada kebenaran, bukan kekuasaan. Oleh karena itu, Arief sepakat seleksi hakim konstitusi memang harus sulit. Salah satu syaratnya, kata Arief, adalah sosok negarawan.

"Sosok negarawan ini cukup sulit dicari, tapi tidak harus melulu dari akademisi. Bisa dari pengusaha, bahkan partai politik," kata Arief.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com