Dalam auditnya, BPK menemukan adanya indikasi legalisasi dari perubahan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Ketua BPK Hadi Poernomo menjelaskan, temuan BPK menyebutkan adanya pencabutan PMK nomor 56/PMK.02/2010 yang diganti dengan PMK nomor 194/PMK.02/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Dengan pencabutan itu, kata Hadi, isi PMK diduga mengalami penurunan makna substantif dalam proses persetujuan kontrak tahun jamak.
"Sehingga, PMK nomor 194/PMK.02/2011 ini patut diduga bertentangan dengan undang-undang. Pertautan ini diduga dilakukan untuk legalisasi penyimpangan yang terjadi pada P3SON Hambalang," ujar Hadi di Kompleks Parlemen, Jumat (23/8/2013).
Saat ditanya lebih lanjut soal dugaan keterlibatan Menteri Keuangan ketika itu dengan adanya pencabutan peraturan tersebut, Hadi enggan menjawabnya.
"Kami hanya jelaskan faktanya, selanjutnya bukan kewenangan kami itu. Itu urusan penegak hukum," kata Hadi.
Adapun dalam hasil audit yang diserahkan BPK ke DPR hari ini, total kerugian negara yakni Rp 463,67 miliar. Dalam audit tahap II ini, BPK menyimpulkan terdapat indikasi penyimpangan dan atau penyalahgunaan wewenang yang mengandung unsur penyimpangan pidana.
Penyimpangan terjadi pada proses pengurusan atas hak tanah, izin bangun, proses lelang, proses persetujuan RKA-KL, persetujuan tahun jamak, pelaksanaan konstruksi, pembayaran dan aliran dana, yang diikuti dengan rekayasa akuntansi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.