KEGIATAN ibadah haji yang dilaksanakan selama sekitar dua setengah bulan setiap tahun selalu menarik perhatian masyarakat. Apapun kejadian yang terjadi selama kegiatan tersebut selalu menjadi pemberitaan besar.
Termasuk dalam hal operasional penerbangan jamaah haji, seperti terkait kondisi pesawat, kondisi di bandara, keterlambatan keberangkatan-kedatangan pesawat dan lainnya.
Misalnya, banyaknya pemberitaan baru-baru ini terkait delay penerbangan dari maskapai yang melayani penerbangan haji, yaitu Garuda Indonesia dan Saudi Airlines.
Tentu masyarakat banyak yang bertanya-tanya, kenapa hal ini bisa terjadi? Bukankah penerbangan haji sudah dilakukan setiap tahun?
Apalagi untuk Saudi Airlines yang merupakan maskapai flag carrier Arab Saudi, kenapa bisa ikut terlambat sampai berjam-jam?
Seperti pada penerbangan Saudi Airlines SV-5310 yang membawa rombongan kepulangan jemaah kloter 1 Palembang pada 22 Juni 2024, mengalami delay parah hingga 14 jam.
Kemudian SV-5314 pada 24 Juni 2024, yang membawa jemaah kloter 6 Jakarta dan SV-5350 pada 25 Juni 2024, untuk mengantarkan kloter 4 Batam, masing-masing mengalami keterlambatan satu jam.
Semua kejadian itu menggambarkan bahwa operasional penerbangan haji memang sangat kompleks dibanding penerbangan regular.
Terkait penerbangan haji, pada dasarnya, prosesnya sama seperti operasional penerbangan pada umumnya, yaitu mengangkut orang dari satu bandara asal ke bandara tujuan.
Namun ada beberapa hal yang membuat penerbangan haji lebih kompleks dibanding penerbangan umum.
Pertama, penerbangan haji bersifat penerbangan nonreguler atau sewa untuk waktu tertentu. Berbeda dengan penerbangan reguler berjadwal, maka maskapai yang menerbangkan haji harus meminta persetujuan dulu kepada bandara awal dan tujuan serta meminta slot kepada pengelola slot penerbangan di bandara-bandara tersebut, baik di Indonesia maupun Arab Saudi.
Untuk penerbangan nonhaji, baik reguler (berjadwal) maupun nonreguler, permintaan persetujuan bandara dan slot ini lebih mudah karena memang di setiap bandara disediakan slot untuk penerbangan tersebut.
Namun untuk penerbangan haji lebih kompleks karena jumlah penerbangannya yang lebih banyak dan waktu operasionalnya sempit.
Gambarannya begini: jemaah haji dari Indonesia sebanyak 241.000 orang, dibagi dalam 554 kelompok dan diterbangkan dari 13 bandara embarkasi haji selama sekitar sebulan untuk fase keberangkatan dan sebulan untuk fase kepulangan.
Jadi kira-kira setiap bandara melayani sekitar dua penerbangan keberangkatan dan dua penerbangan kepulangan haji tiap hari dengan pesawat berbadan besar yang mampu mengangkut 300-400 penumpang.
Nah, itu baru dari Indonesia. Bagaimana dengan penerbangan dari bandara negara lain yang juga sama-sama mengangkut jemaah haji ke Arab Saudi?
Tahun 2024 ini, pemerintah Arab Saudi memperkirakan jumlah jemaah haji bisa mencapai 2 juta orang.
Jika yang naik pesawat 1,5 juta orang dan rata-rata pesawat yang dipakai bisa mengangkut 250 orang, berarti akan ada 6.000 penerbangan.
Pemerintah Arab Saudi mengoperasikan lima bandara untuk melayani haji, yaitu bandara di Jeddah, Madinah, Riyadh, Damman dan Yanbu.
Jadi, dalam sehari selama sebulan penerbangan haji, tiap bandara harus melayani tambahan 40 slot penerbangan. Padahal, masing-masing bandara juga harus melayani penerbangan reguler tiap harinya.