JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Utama Perum Badan Usaha Logistik (Bulog) Bayu Krisnamurthi memberikan penjelasan soal dugaan mark up (menaikkan harga) impor beras.
Menurut Bayu, hal tersebut berkaitan dengan demurrage atau situasi di mana terjadi keterlambatan bongkar muat.
“Dalam kondisi tertentu, demurrage atau keterlambatan bongkar muat adalah hal yang tidak bisa dihindarkan sebagai bagian dari risiko handling komoditas impor. Jadi misalnya dijadwalkan lima hari, menjadi tujuh hari," ujar Bayu dilansir dari siaran pers Bulog pada Kamis (4/7/2024).
Baca juga: Bulog dan Bapanas Dilaporkan ke KPK Atas Dugaan Mark Up Impor Beras Rp 2,7 Triliun
Bayu menuturkan, demurrage kemungkinan bisa terjadi karena hujan, arus pelabuhan penuh, buruhnya tidak ada karena hari libur dan sebagainya.
Lalu, dalam upaya mitigasi risiko importasi, demurrage menjadi biaya yang sudah harus diperhitungkan dalam kegiatan ekspor dan impor.
"Adanya biaya demurrage menjadi bagian konsekuensi logis dari kegiatan ekspor impor. Kami selalu berusaha meminimumkan biaya demurrage dan itu sepenuhnya menjadi bagian dari biaya yang masuk dalam perhitungan pembiayaan perusahaan pengimpor atau pengeskpor,” jelas Bayu.
Adapun saat ini, perum Bulog mendapatkan penugasan untuk mengimpor beras dari Kementerian Perdagangan, sebesar 3,6 juta ton pada tahun 2024.
Pada periode Januari-Mei 2024, jumlah impor sudah mencapai 2,2 juta ton.
Impor dilakukan oleh Perum Bulog secara berkala dengan melihat neraca perberasan nasional dan mengutamakan penyerapan beras dan gabah dalam negeri.
Baca juga: Soal Akuisisi Sumber Beras di Kamboja, Bos Bulog Jamin Tak Ganggu Penggilingan Padi Domestik
Diberitakan sebelumnya, Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Perum Bulog dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan penggelembungan harga beras impor.
Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR) Hari Purwanto selaku pelapor mengatakan, jumlah beras yang diimpor itu 2,2 juta ton dengan selisih harga mencapai Rp 2,7 triliun.
“Harganya jauh di atas harga penawaran. Ini menunjukkan indikasi terjadinya praktik mark up,” kata Hari saat ditemui awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (3/7/2024).
Hari menuturkan, pihaknya mendapatkan data penawaran dari perusahaan Vietnam, Tan Long Group yang menawarkan 100.000 ton beras dengan harga 538 dollar Amerika Serikat (AS) per ton dengan skema free on board (FOB) dan 573 dollar AS per ton dengan skema cost, insurance, and freight (CIF).
Dalam skema FOB, biaya pengiriman dan asuransi menjadi tanggungan importir.
Sementara, dalam CIF biaya pengiriman hingga bongkar muat kargo ditanggung eksportir.