SERANGAN ransomware terhadap Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) di Indonesia oleh kelompok peretas LockBit, belum lama ini, tidak hanya mengguncang keamanan siber, tetapi juga memiliki implikasi mendalam terhadap geopolitik Indonesia.
Serangan siber seperti ini sering kali melibatkan aktor asing, baik negara maupun kelompok kriminal internasional, yang dapat memicu ketegangan diplomatik.
Oleh karena itu, selain dampak internasional, serangan ransomware juga memengaruhi stabilitas politik domestik.
Dalam jangka panjang, posisi strategis Indonesia di kawasan dan dunia juga dipertaruhkan. Indonesia merupakan negara dengan posisi strategis di Asia Tenggara, namun kerentanan terhadap serangan siber dapat dimanfaatkan oleh aktor negara lain untuk menekan atau mengintimidasi Indonesia dalam berbagai negosiasi internasional atau konflik regional.
Dalam era digital, serangan siber sering kali dianggap sebagai bentuk agresi yang dapat memicu ketegangan diplomatik.
Ketika aktor asing terlibat dalam serangan siber, negara korban tidak hanya berhadapan dengan ancaman terhadap keamanan data dan infrastruktur mereka, tetapi juga menghadapi potensi konflik internasional.
Serangan ini menunjukkan bahwa kejahatan siber bisa menjadi alat geopolitik yang digunakan oleh negara atau kelompok tertentu untuk melemahkan lawan mereka.
Oleh karena itu, insiden ini menyoroti perlunya Indonesia memperkuat diplomasi sibernya untuk menghadapi tantangan secara efektif.
Indonesia harus menekan negara-negara yang menjadi basis operasi kelompok peretas untuk menindak tegas aktivitas mereka. Langkah ini bisa melibatkan negosiasi diplomatik, sanksi ekonomi, atau kerja sama hukum untuk mengekstradisi pelaku kejahatan siber.
Dalam banyak kasus, negara-negara yang menjadi basis operasi kelompok peretas cenderung tidak mengambil tindakan tegas, baik karena kurangnya sumber daya atau karena hubungan diplomatik yang kompleks.
Oleh karena itu, Indonesia harus mendorong komunitas internasional untuk bersama-sama menekan negara-negara ini agar mengambil tindakan lebih kuat terhadap kelompok peretas, sehingga memberikan sinyal yang jelas bahwa aktivitas kriminal siber tidak akan ditoleransi.
Melalui pendekatan kolaboratif, Indonesia dan negara-negara lain dapat lebih efektif dalam menghadapi ancaman siber global, meningkatkan keamanan, dan menjaga stabilitas digital di tingkat internasional.
Ketidakmampuan pemerintah menangani serangan ransomware memiliki dampak serius terhadap stabilitas politik domestik.
Ketika serangan siber mengkompromikan data penting dan infrastruktur kritis, masyarakat mulai meragukan kemampuan pemerintah dalam menjaga keamanan dan integritas nasional.
Ketidakmampuan ini bisa digunakan oleh oposisi politik sebagai alat untuk menyerang kredibilitas pemerintah, menyoroti kelemahan dalam strategi keamanan siber, dan menuntut perubahan kebijakan atau kepemimpinan.
Hal ini bisa memicu ketidakstabilan politik yang lebih luas, karena ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah meningkat dan memperburuk ketegangan sosial serta politik yang ada.
Dalam situasi di mana pemerintah dianggap gagal melindungi kepentingan nasional, masyarakat mungkin merespons dengan protes atau meningkatnya kritik terhadap pemerintah.
Ini tidak hanya mencerminkan ketidakpuasan terhadap pengelolaan keamanan siber, tetapi juga dapat memperluas ketidakpuasan terhadap isu-isu lain, seperti ekonomi atau layanan publik.
Oposisi politik dapat memanfaatkan momen ini untuk memperkuat posisinya, dengan menyatakan bahwa pemerintah tidak kompeten dalam menangani ancaman siber yang semakin kompleks.
Ketidakstabilan politik yang diakibatkan oleh serangan ransomware dapat menurunkan kepercayaan investor dan merusak citra Indonesia di mata komunitas internasional.
Untuk mengatasi situasi ini, pemerintah Indonesia harus menunjukkan respons yang cepat dan efektif dalam menanggapi serangan ransomware.
Langkah-langkah mitigasi tegas, transparan, dan terkoordinasi harus diambil untuk mengatasi dampak serangan dan mengembalikan kepercayaan publik.