JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Menko Polhukam sekaligus calon wakil presiden pada Pilpres 2024, Mahfud MD dikabarkan hadir dalam acara pelatihan pemenangan Pilkada 2024 khusus internal PDI-P.
Hal ini disiarkan dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com dari Juru Bicara PDI-P, Chico Hakim.
Mahfud hadir pada pelatihan PDI-P yang digelar hari ini, Selasa (2/7/2024).
Ia turut menjadi pembicara dalam pelatihan tersebut di hadapan lebih dari 600 kader yang merupakan tim pemenangan pilkada.
Baca juga: Ketika Zulhas Balas Komentar Mahfud soal Indonesia Emas...
Mahfud menegaskan, selain elektabilitas, moralitas menjadi hal utama bagi setiap calon kepala daerah untuk dapat menjaga keutuhan bangsa.
"Dalam Pilkada ini kan perlu elektabilitas dan moralitasnya si calon bagaimana, ini yang perlu diperhatikan. Jangan melihat elektabilitas saja tanpa moralitas, itu berbahaya. Akan tetapi, moralitas tanpa elektabilitas, itu ya tidak akan terpilih. Jadi harus diperhatikan keduanya," kata Mahfud dalam keterangan yang diterima, Selasa.
Ia mengatakan, PDI-P adalah contoh aset bangsa yang terus berusaha menciptakan modal sosial yang baik dengan menerapkan politik tanpa mahar.
Baca juga: Mahfud MD Sebut Rule By Law Jadi Penyakit Sistem Hukum Indonesia
Sebagai contoh, lanjut Mahfud, ketika dirinya diusung sebagai cawapres pada Pilpres 2024, PDI-P tidak meminta uang sepeser pun darinya.
"Saya yakin jika melalui jalur resmi PDI Perjuangan di Pilkada itu tanpa mahar politik, contoh saya di Pilpres 2024 lalu sama sekali tidak diminta sepeserpun, padahal kita tahu biaya saksi besar sekali," ungkapnya.
"Nah itu hal yang baik, karena bagaimana pun politik uang itu nantinya bisa menyebabkan praktik-praktik korupsi," kata Mahfud.
Eks Ketua MK ini mengatakan, banyak kasus korupsi yang menjerat para kepala daerah di Indonesia disebabkan maraknya praktik politik uang pada proses pilkada.
Praktik politik uang tersebut biasanya muncul dari proses mahar politik.
Bahkan, pada saat kepala daerah masih dipilih oleh DPRD pada era awal reformasi, proses politik uang juga terjadi, yaitu jual beli kursi DPRD.
"UU Pemerintah Daerah terus berubah. Saat aturan pilkada dipilih DPRD dan terjadi banyak politik uang jual beli kursi, maka diubah aturan menjadi pilkada langsung dipilih masyarakat melalui UU 32 Tahun 2004," kata dia.
"Nah, ternyata pada praktiknya juga lebih mahal, karena bukan lagi beli kursi ke DPRD, tetapi bayar mahar ke partai," ucap dia lagi.
Lebih jauh, kata Mahfud, ada laporan dari Kemendagri pada 2012 setelah Pilkada langsung, tercatat 62 persen kepala kepala daerah korupsi.
"Nah, katanya saat itu penyebabnya karena pemilihan langsung saat itu disampaikan oleh Mendagri, karena biaya pilkada langsung itu lebih banyak daripada pemilu DPRD. Bahkan, laporan KPK tahun 2020 mengidentifikasi, 84 persen kemenangan calon di pilkada itu dibiayai cukong, bukan biaya sendiri," ujar Mahfud.
Baca juga: Mahfud MD: Sekarang Kita Sedang Kehilangan Arah Hukum
Ia juga menjelaskan beberapa modus praktik korupsi kepala daerah, antara lain mark up dan mark down proyek, kolusi dengan vendor dalam bentuk kick back
Modus lain seperti korupsi di bidang perizinan, pemerasan dalam rekrutmen pejabat daerah dan pegawai, kolusi dengan DPRD untuk memuluskan satu kebijakan atau proyek, hingga penyalahgunaan bansos saat menjelang pilkada.
"Mari kita hindari praktik politik uang, agar praktik praktik korupsi bisa dihindari saat kita menjabat kepala daerah. Dengan demikian, kita bisa mewariskan bangsa kita yang berkah ini ke generasi-generasi selanjutnya dengan yang baik," kata Mahfud.