Sebagai perbandingan, Inggris yang penduduknya 50 juta atau seperenam dari Indonesia mampu menghasilkan 12.000 dokter spesialis per tahun. Jumlah ini hampir 5 kali lipat dari produksi di Indonesia.
“Hal tersebut terjadi karena perbedaan sistem pendidikan yang sudah berbasis rumah sakit. Persoalan lainnya, produksi dokter spesialis di Indonesia terhambat karena biaya kuliahnya mahal,” kata Budi.
Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) drg Arianti Anaya, MKM menjelaskan, program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Rumah Sakit Pendidikan sebagai Penyelenggara Utama (RSP-PU) diselenggarakan guna mencukupi kebutuhan dokter spesialis di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan (DTPK), khususnya di luar Pulau Jawa.
Menurutnya, sebanyak 50 persen rumah sakit umum daerah (RSUD) belum memiliki 7 dokter spesialis standar.
Padahal, Menkes telah menetapkan bahwa sebuah RSUD setidaknya memiliki tujuh dokter spesialis standar, yakni dokter spesialis penyakit dalam, kandungan (obgyn), bedah, anak, anestesi, radiologi dan patologi klinis.
Baca juga: Jokowi Sebut Minimnya Dokter Spesialis Kerap Jadi Keluhan Warga
“Indonesia membutuhkan waktu 10 tahun untuk mengejar kebutuhan 29.000 dokter spesialis. Untuk mempercepat target tersebut, Indonesia menerapkan pendidikan PPDS RSP-PU atau hospital based yang sudah dilakukan negara maju,” kata drg Arianti yang juga hadir dalam acara tersebut.
Dalam melakukan akreditasi pendidikan PPDS RSP-PU, lanjut drg Arianti, Kemenkes menggandeng lembaga akreditasi Accreditation Council for Graduate Medical Education Services (ACGME) Global Services.
Lembaga tersebut telah mengakreditasi seluruh hospital base di Amerika, Singapura, Filipina, serta di berbagai negara kawasan Arab.
Terkait perekrutan, Kemenkes akan memprioritaskan dokter-dokter di daerah DTPK yang sudah bekerja di RSUD untuk mengikuti program PPDS RSP-PU. Mereka dapat mengikuti program pendidikan ini tanpa perlu membayar.
“Setelah menyelesaikan pendidikan, mereka harus kembali ke wilayahnya masing-masing. Kami berharap, program PPDS RSP-PU dapat mempercepat pemenuhan dokter spesialis yang tadinya 10 tahun menjadi di bawah lima tahun,” tambahnya.
Dokter Arianti melanjutkan bahwa saat ini, jumlah kuota penerimaan peserta PPDS RSP-PU Batch 1 sebanyak 38 orang. Terdapat enam rumah sakit milik Kemenkes yang sudah ditunjuk sebagai RSP-PU pilot atau percontohan untuk program studi dokter spesialis.
Rinciannya, yakni RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita untuk program studi (prodi) jantung (enam kuota), RS Anak dan Bunda Harapan Kita untuk prodi anak (enam kuota), RS Ortopedi Soeharso untuk prodi orthopaedi dan traumatologi (10 kuota), RS Mata Cicendo untuk prodi mata (enam kuota), RS Pusat Otak Nasional untuk prodi saraf (lima kuota), serta RS Kanker Dharmais untuk prodi onkologi radiasi (enam kuota).
“Kemenkes berencana menambah RSP-PU (atau) hospital based dan rencana ini sudah mulai diproyeksi. Berdasarkan proyeksi hingga 2025, Kemenkes akan mengembangkan program studi layanan prioritas,” kata drg Arianti.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan dr Azhar Jaya, SH, SKM, MARS mengatakan bahwa program PPDS RSP-PU dapat menjadi solusi bagi dokter yang sudah bekerja di RSUD untuk mengambil pendidikan spesialis.
Menurutnya, banyak dokter umum di daerah DTPK yang ingin melanjutkan pendidikan dokter spesialis, tapi terhambat biaya pendidikan dokter spesialis yang mahal. Melalui program ini, mereka dapat menempuh pendidikan spesialis untuk berkontribusi di daerahnya masing-masing.
Dokter Azhar mewanti-wanti agar peserta program PPDS RSP-PU benar-benar mengabdi di daerah mereka berasal. Pasalnya, jika mereka mengingkari janji, Kemenkes akan mengunci surat izin praktik (SIP) dokter. Dengan demikian, mereka tidak bisa melakukan praktik.
“Karena tujuan awal program PPDS-RSP-PU untuk memenuhi kebutuhan dokter spesialis di pulau terluar. Jadi, program ini bertujuan menurunkan gap di daerah terkait kebutuhan dokter spesialis. Kami berharap, target ini bisa tercapai dalam waktu kurang dari lima tahun,” kata dr Azhar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.