DAHNIL Anzar Simanjuntak, dalam wawancara media pada 3 Mei 2024, menyampaikan bahwa atasannya, Presiden Republik Indonesia (RI) terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto berencana membuat forum elite bernama “Presidential Club”.
Secara ringkas, menurut Dahnil, “Presidential Club” adalah forum di mana Presiden Republik Indonesia dari berbagai periode bisa berkumpul untuk saling mendiskusikan masalah-masalah strategis kebangsaan.
Sehari kemudian, Presiden RI yang saat ini masih berkuasa, Joko Widodo (Jokowi), mengapresiasi ide tersebut.
Dalam kesempatan wawancara dengan media usai mengunjungi pameran kendaraan listrik di JiExpo Kemayoran, Jakarta, sambil tertawa Jokowi mengatakan bahwa tidak ada salahnya untuk menggelar pertemuan dua hari sekali sebagai tindak lanjut.
Tulisan ini ingin memberi pandangan positif mengenai ide pembentukan “Presidential Club” tersebut, sambil tetap menyampaikan hal-hal yang perlu diantisipasi.
Secara garis besar, tentu saja ide tersebut mesti disambut dengan baik. Faktanya, sebagai negara berkembang, Indonesia masih terus menerus belajar menghadapi situasi sulit yang terjadi di berbagai periode.
Presiden Megawati Soekarnoputri tentu memiliki keahlian untuk diceritakan ketika dirinya harus membereskan sisa-sisa krisis moneter 1998 dan di saat yang sama membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2002.
Atau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga memiliki pengalaman menarik untuk dibagi ketika harus menghadapi bencana tsunami 2004 dan krisis keuangan global 2008 yang terjadi di masa pemerintahannya.
Adapun Presiden Joko Widodo juga pasti memiliki kemampuan untuk disebarluaskan ketika harus mengambil keputusan-keputusan sulit dalam menghadapi krisis kesehatan-ekonomi dunia sebagai dampak dari pandemi virus Corona 2020.
Sudah tentu, berhasil atau tidaknya para Presiden tersebut dalam menghadapi krisis akan menjadi pandangan subjektif publik.
Namun paling tidak, bisa berkumpulnya para Presiden terdahulu dalam satu forum akan memunculkan brainstorming tingkat tinggi, khususnya dalam hal penanggulangan krisis. Jadi, pertemuan ini jelas punya nilai positif secara substansi.
Selanjutnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak semua elite yang pernah menjabat sebagai Presiden di Indonesia bisa bersilaturahim dengan mudah antara satu dan lainnya.
Terbaru, publik disodori fakta mengenai sulitnya komunikasi antara Joko Widodo selaku Presiden Indonesia ke-7 dan Megawati Soekarnoputri selaku Presiden Indonesia ke-5, utamanya usai Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 berakhir.
Situasi yang, sayangnya, telah terjadi lebih dulu pada hubungan antara SBY dan Megawati.
Oleh karenanya, jika benar “Presidential Club” bisa direalisasikan, persoalan-persoalan personal, tapi punya dampak nasional sebagaimana terjadi tersebut mestinya bisa tertanggulangi.
Masyarakat akan menilai bahwa perbedaan preferensi politik adalah hal biasa. Jadi, selain substansi, pertemuan ini juga menghasilkan poin kedua, yaitu positif secara relasi.
Adapun yang ketiga adalah penguatan nilai-nilai persatuan sebagai counter atas dampak patrimonialisme.
Kultur politik di Indonesia masih bersifat patrimonialisme, alias, sederhananya, berbasis figur. Masyarakat punya “preferensi tokoh” masing-masing dalam mengekspresikan perilaku politik dan kondisi ini akan muncul ke permukaan dengan jelas ketika Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan.
Masalahnya, baik di tingkat daerah maupun nasional, Pemilu justru beberapa kali menjadi ajang yang justru mengkotak-kotakkan masyarakat.
Pembilahan sosial ini, besar harapan, kemudian bisa segera hilang jika para figur yang menjadi panutan masing-masing, berbesar hati untuk melakukan rekonsiliasi.
Ringkasnya, “Presidential Club” jadi punya fungsi yang demikian strategis untuk mempersatukan masyarakat.
Menilik pembilahan sosial yang belum sembuh benar di Indonesia, tiga poin positif sebagaimana tersebut di atas jadi penting untuk bisa terealisasi.
Meski demikian, demi maksimalisasi manfaat dari (setidak-tidaknya) tiga poin tersebut, penting untuk Prabowo, atau tim di belakangnya, perhatikan.
Pertama, faktanya, kecuali Joko Widodo, Presiden yang masih hidup saat ini masih menjadi pengambil keputusan di partai-partai besar di Indonesia.
Megawati adalah ketua umum PDIP dan SBY adalah ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.
Jokowi sendiri, sampai tulisan ini dimuat, dikabarkan dekat dengan partai Golongan Karya (Golkar). Artinya, alih-alih berdiskusi dengan Presiden Megawati, Presiden SBY dan Presiden Jokowi secara personal, Presiden terpilih Prabowo Subianto sebetulnya juga sedang berdiskusi dengan para tokoh yang masih memiliki kekuasaan untuk mengubah konstelasi peta politik Indonesia, bahkan untuk berpuluh-puluh tahun ke depan.
Dengan demikian, jika tidak dikelola secara matang, “Presidential Club” tersebut malah bisa berubah bentuk menjadi “koalisi” Pemerintah “lainnya” mengingat para Presiden pendahulu tersebut juga masih memiliki peran kuat di partainya masing-masing.
Jika pada akhirnya “Presidential Club” ini bisa terlaksana, yang berarti para Presiden terdahulu, yang juga ketua umum tersebut muncul bersama dalam satu frame, akan muncul pandangan bahwa semua partai bergabung ke dalam pemerintahan Prabowo.
Persoalannya, apabila semua parpol masuk ke dalam pemerintah, jelas ini tidak sehat bagi demokrasi Indonesia karena mekanisme check and balances jadi tidak terjadi.
Kedua, belum ada penjelasan rinci, tetapi sekaligus komprehensif, mengenai tokoh-tokoh yang bisa masuk ke dalam “Presidential Club” tersebut, selain secara mentah hanya disebut sebagai mantan Presiden.
Persoalannya, dalam beberapa kondisi, terdapat Presiden yang harus berbagi dengan Wakil Presiden untuk menjalankan agenda-agenda tertentu karena kesepakatan politik.
Jusuf Kalla misalnya, pernah mengatakan bahwa saat mendampingi SBY pada periode 2004-2009 lalu, beliau-lah yang diberi tugas untuk mengeksekusi persoalan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, meski tetap di bawah sepengetahuan Presiden.
Jadi, kalau benar “Presidential Club” ini juga mengejar fungsi, lalu bagaimana orang-orang seperti Jusuf Kalla, yang secara faktual bukan Presiden, tetapi berbagi tugas dengan Presiden, ditempatkan?
Ketiga, jika masih dipertahankan, Presiden sebenarnya sudah memiliki Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) sebagai penasehat.
Dengan demikian, secara organisasional, sudah ada institusi yang memiliki kewenangan untuk memberi masukan kepada Presiden. Bahkan, institusi tersebut dibentuk secara sah menurut peraturan perundangan.
Jika tidak dikelola dengan baik, keberadaan “Presidential Club” berpotensi memunculkan tumpang tindih dan justru akan menempatkan Presiden di posisi sulit karena tidak mengindahkan peraturan perundangan.
Ide pembentukan “Presidential Club” sudah digulirkan. Meski nuansa politis tidak mungkin dipisahkan, namun demikian sebagian besar publik bisa memahami maksud dari pembentukan tersebut, yakni sebagai ajang silaturahim antar tokoh yang, jika baik, akan diikuti oleh para pengikutnya di tingkat akar rumput.
Meski demikian, tulisan ini mencoba untuk memberi saran atas rencana tersebut. Setelah mengapresiasinya karena “Presidential Club” memang baik secara substansi, relasi dan fungsi, tulisan ini kemudian mencoba mengangkat beberapa isu yang perlu diantisipasi, yaitu agar tidak justru menjadi “koalisi” baru, agar lebih bijak dalam mengakomodasi tokoh, dan agar tidak tumpang tindih secara institusional.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.