HASIL Pemilu 2024 akan secara resmi diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 20 Maret 2024. Namun, suara kritis masyarakat pada jelang dan proses pelaksanaan Pemilu terus nyaring.
Pilpres 2024 diwarnai secara kasat mata oleh keberpihakan Presiden Jokowi terhadap paslon tertentu yang memunculkan gelombang protes masyarakat.
Pemilu tahun ini, meskipun berjalan aman dan damai di permukaan, sejatinya menyimpan luka dalam bagi demokrasi.
Pilpres memang telah usai dengan melahirkan kemenangan sementara atas paslon tertentu. Namun kemenangannya diiringi praktik-praktik kekuasaan yang menjauh dari nilai dan adab demokrasi.
Politik berjalan di atas altar pragmatisme dan nalar transaksionalisme.
Kemenangan pilpres baru sekadar sebagai “kemenangan elektoral” dan mengabaikan “kemenangan moral”.
Kemenangannya baru sebatas “kemenangan kuantitatif” dan belum bergerak ke arah “kemenangan kualitatif”.
Pemilu baru dimaknai sebagai “angka” dan belum dihitung sebagai “etika”. Demokrasi kita baru ditandai oleh demokrasi “menang-kalah” secara elektoral. Dan itupun ditempuh dengan cara-cara tidak demokratis.
Apakah ini sedang menandakan proses surutnya demokrasi di negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ataukah sedang terjadi pembelokan arah demokrasi ke arah putar-balik menuju otoritarianisme model Orde Baru?
Pendapat Lord Acton, yakni "power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely" sepertinya selalu mendapat pembenarannya dalam banyak perilaku politik Indonesia akhir-akhir ini.
Kekuasan presiden yang sangat besar dapat menerobos independensi lembaga hukum paling tinggi di Indonesia, Mahkamah Konstitusi.
Presiden dengan kekuasaannya dengan mudah membalikkan konsep negara hukum menjadi negara kekuasaan.
Para aktor politik kunci dan penting tersandera dalam aneka kasus hukum dan menjadi alat negosisasi politik kekuasaan.
Kasus hukum berupa korupsi tidak lain karena besarnya kekuasaan yang dikelola. Sementara kedaulatan politik rakyat harus menyerah pada realitas kemiskinan yang mudah “didiamkan” dengan pendekatan “politik sembako”.
Kritik kelas menengah dan terdidik terhadap penyimpangan kekuasaan dianggap sebagai kegaduhan yang harus ditertibkan oleh aparat keamanan.