Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Abdul Mukti
Dosen

Dosen Fisafat dan Pemikiran Islam

Idealisme Puasa dan Pragmatisme Kekuasaan

Kompas.com - 18/03/2024, 16:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HASIL Pemilu 2024 akan secara resmi diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 20 Maret 2024. Namun, suara kritis masyarakat pada jelang dan proses pelaksanaan Pemilu terus nyaring.

Pilpres 2024 diwarnai secara kasat mata oleh keberpihakan Presiden Jokowi terhadap paslon tertentu yang memunculkan gelombang protes masyarakat.

Pemilu tahun ini, meskipun berjalan aman dan damai di permukaan, sejatinya menyimpan luka dalam bagi demokrasi.

Pilpres memang telah usai dengan melahirkan kemenangan sementara atas paslon tertentu. Namun kemenangannya diiringi praktik-praktik kekuasaan yang menjauh dari nilai dan adab demokrasi.

Politik berjalan di atas altar pragmatisme dan nalar transaksionalisme.

Kemenangan pilpres baru sekadar sebagai “kemenangan elektoral” dan mengabaikan “kemenangan moral”.

Kemenangannya baru sebatas “kemenangan kuantitatif” dan belum bergerak ke arah “kemenangan kualitatif”.

Pemilu baru dimaknai sebagai “angka” dan belum dihitung sebagai “etika”. Demokrasi kita baru ditandai oleh demokrasi “menang-kalah” secara elektoral. Dan itupun ditempuh dengan cara-cara tidak demokratis.

Apakah ini sedang menandakan proses surutnya demokrasi di negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ataukah sedang terjadi pembelokan arah demokrasi ke arah putar-balik menuju otoritarianisme model Orde Baru?

Kuasa yang memabukkan

Pendapat Lord Acton, yakni "power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely" sepertinya selalu mendapat pembenarannya dalam banyak perilaku politik Indonesia akhir-akhir ini.

Kekuasan presiden yang sangat besar dapat menerobos independensi lembaga hukum paling tinggi di Indonesia, Mahkamah Konstitusi.

Presiden dengan kekuasaannya dengan mudah membalikkan konsep negara hukum menjadi negara kekuasaan.

Para aktor politik kunci dan penting tersandera dalam aneka kasus hukum dan menjadi alat negosisasi politik kekuasaan.

Kasus hukum berupa korupsi tidak lain karena besarnya kekuasaan yang dikelola. Sementara kedaulatan politik rakyat harus menyerah pada realitas kemiskinan yang mudah “didiamkan” dengan pendekatan “politik sembako”.

Kritik kelas menengah dan terdidik terhadap penyimpangan kekuasaan dianggap sebagai kegaduhan yang harus ditertibkan oleh aparat keamanan.

Inilah Indonesia kita akhir-akhir ini. Negeri yang sedang bergerak ke arah kemerosotan moral demokrasi.

Genggaman kekuasaan yang merupakan mandat rakyat telah sadar digunakan untuk memenangkan “politik elektoral” kelompok tertentu.

Narasi “pemilu curang”, terlepas sebagai fakta hukum atau pernyataan politik, adalah terkait langsung dengan perebutan kekuasaan antara individu atau kelompok manusia yang telah berlangsung sejak zaman kuno hingga masa modern. Ia merupakan medan pertempuran moral dan etika yang kompleks.

Dalam sejarah manusia, terdapat banyak contoh di mana kecurangan menjadi alat utama dalam upaya memperoleh atau mempertahankan kekuasaan.

Sehingga, perilaku curang dalam perebutan kekusaan telah menjadi fakta historis yang banyak dikisahkan dalam perjalanan membangun peradaban negara di banyak belahan dunia.

Dalam banyak kisah itu terlihat bagaimana ambisi manusia seringkali terjebak dalam perilaku curang yang tidak etis dan merugikan.

Kisah epik dalam Mahabharata antara Yudhishthira dan Duryodhana menggambarkan penggunaan manipulasi dan kecurangan dalam permainan dadu untuk menipu Yudhishthira dan memenangkan pertaruhan tersebut, memicu serangkaian peristiwa tragis dalam kisah tersebut.

”Permainan kecurangan” tanpa disadari telah menjadi bagian dari perebutan kekuasaan politik yang dapat merusak keadilan, stabilitas, dan integritas suatu masyarakat.

Puasa dan syahwat kekuasaan

Di tengah-tengah narasi “pemilu curang” sebagai tindakan amoral dalam perebutan kekuasaan politik, kehadiran bulan suci Ramadhan yang secara doktrin mengajarkan bagaimana melatih mengendalikan nafsu, termasuk nafsu kekuasaan yang berpotensi menghancurkan sendi-sendi moral dan etika dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat, dan negara.

Puasa menyediakan sarana latihan menuju standar spiritualitas dan moralitas dalam membangun peradaban manusia.

Peradaban politik yang dibentuk dengan mengabaikan standar moral, apalagi spiritual hanya akan melahirkan peradaban politik dengan pemerintahan yang cenderung despotik dan tirani.

Media puasa seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an mengidealkan penciptaan profil “manusa muttaqien” dengan kata kunci pembentukan kondisi mental yang kuasa menahan diri dari segala godaan dan iming-iming yang menjatuhkan nilai dan martabat kemanusiaan.

Satu sisi, hasrat untuk berkuasa merupakan nature dari manusia itu sendiri. Namun pada saat yang sama, mengendalikan kekuasaan, tepatnya nafsu kekuasaan, menjadi kunci apakah manusia itu akan terjerumus pada lembah kehinaan atau justru akan berujung dan naik kelas pada level kemuliaan.

Jarak kemuliaan dan kehinaan sangat ditentukan oleh kondisi mental, apakah berkecenderungan “curang”, “jahat”, “menipu” atau sebaliknya, “jujur”, “baik”, dan “sportif”.

Hampir seluruh pendapat ulama besar dalam Islam terutama hujjatul Islam Imam Ghazali berpendapat bahwa katagori akhlak bukan terletak pada tindakan, tetapi pada jiwa/batin.

Tindakan hanyalah ekspresi dari kondisi batin. Tindakan bisa mudah menipu, tetapi batin siapa yang tahu.

Lebih jauh, pembentukan karakter “Muttaqien” sebagaimana yang menjadi output dan outcome dari puasa bukanlah kemenangan dalam makna “kuantitatif”, semisal berhasil menjalankan puasa dalam durasi tertentu dari waktu Imsak hingga bedug Magrib atau menjalankannya sebulan penuh.

Namun, puasa menghendaki terjadinya internalisasi nilai-nilai spiritual yang menjelma pada laku sosial dan berdimensi horizontal. Bentuknya berupa ihsan, yaitu kebaikan yang dirasakan oleh alam sekitar.

Idealisme puasa inilah yang diharapkan mampu memengaruhi akhlak pribadi, kelompok, masyarakat, dan negara dalam mengelola tatanan kehidupan manusia yang berkarakter taqwa.

Maka, jika perilaku curang masih terus menggejala dalam hampir semua tatanan kehidupan, baik di level individu, keluarga, masyarakat, dan negara, media puasa baru dijalankan sebagai “kewajiban”, belum sebagai “kebutuhan”, apalagi “kecintaan” untuk tidak mengatakan “keterpaksaan”.

Puasa hanya menjadi “ritual vertikal-individual” dan belum bergerak menjadi kekuatan sosial dalam jelmaan akhlak berbangsa dan bernegara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Putusan Sela Kasus Hakim Agung Gazalba Dinilai Bentuk Pelemahan KPK

Putusan Sela Kasus Hakim Agung Gazalba Dinilai Bentuk Pelemahan KPK

Nasional
KPK Sita 13 Lahan Milik Terpidana Korupsi Pengadaan Helikopter AW-101

KPK Sita 13 Lahan Milik Terpidana Korupsi Pengadaan Helikopter AW-101

Nasional
Baleg Bantah Kebut Revisi UU Kementerian Negara hingga UU TNI untuk Kepentingan Pemerintahan Prabowo

Baleg Bantah Kebut Revisi UU Kementerian Negara hingga UU TNI untuk Kepentingan Pemerintahan Prabowo

Nasional
Gerindra Siapkan Keponakan Prabowo Maju Pilkada Jakarta

Gerindra Siapkan Keponakan Prabowo Maju Pilkada Jakarta

Nasional
Demokrat Beri 3 Catatan ke Pemerintah Terkait Program Tapera

Demokrat Beri 3 Catatan ke Pemerintah Terkait Program Tapera

Nasional
PKB Keluarkan Rekomendasi Nama Bakal Calon Gubernur pada Akhir Juli

PKB Keluarkan Rekomendasi Nama Bakal Calon Gubernur pada Akhir Juli

Nasional
PDI-P Hadapi Masa Sulit Dianggap Momen Puan dan Prananda Asah Diri buat Regenerasi

PDI-P Hadapi Masa Sulit Dianggap Momen Puan dan Prananda Asah Diri buat Regenerasi

Nasional
Risma Minta Lansia Penerima Bantuan Renovasi Rumah Tak Ditagih Biaya Listrik

Risma Minta Lansia Penerima Bantuan Renovasi Rumah Tak Ditagih Biaya Listrik

Nasional
Tak Bisa Selamanya Bergantung ke Megawati, PDI-P Mesti Mulai Proses Regenerasi

Tak Bisa Selamanya Bergantung ke Megawati, PDI-P Mesti Mulai Proses Regenerasi

Nasional
Fraksi PDI-P Bakal Komunikasi dengan Fraksi Lain untuk Tolak Revisi UU MK

Fraksi PDI-P Bakal Komunikasi dengan Fraksi Lain untuk Tolak Revisi UU MK

Nasional
Jaksa KPK Hadirkan Sahroni dan Indira Chunda Thita dalam Sidang SYL Pekan Depan

Jaksa KPK Hadirkan Sahroni dan Indira Chunda Thita dalam Sidang SYL Pekan Depan

Nasional
Ketua MPR Setuju Kementerian PUPR Dipisah di Kabinet Prabowo

Ketua MPR Setuju Kementerian PUPR Dipisah di Kabinet Prabowo

Nasional
Baznas Tegas Tolak Donasi Terkoneksi Israel, Dukung Boikot Global

Baznas Tegas Tolak Donasi Terkoneksi Israel, Dukung Boikot Global

Nasional
Kejagung Tegaskan Tak Ada Peningkatan Pengamanan Pasca Kasus Penguntitan Jampidsus

Kejagung Tegaskan Tak Ada Peningkatan Pengamanan Pasca Kasus Penguntitan Jampidsus

Nasional
Ahli Sebut Jaksa Agung Bukan 'Single Persecution' dalam Kasus Korupsi

Ahli Sebut Jaksa Agung Bukan "Single Persecution" dalam Kasus Korupsi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com