Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hamid Awaludin

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.

Awas, Ada Hak Angket

Kompas.com - 25/02/2024, 06:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HAK Angket, dalam tradisi negara-negara barat, disebut sebagai right of inquiry (hak penyelidikan).

Hak Angket dimulai di Inggris pada abad ke-14. Hak ini digunakan untuk menyelidiki dan menghukum penyelewengan administrasi pemerintahan.

Dasar pemikiran penggunaan Hak Angket oleh para anggota legislatif adalah cabang legislatif yang membuat hukum, sementara yang menjalankannya adalah cabang eksekutif.

Alur pikir di atas, diimplementasikan dalam bentuk praktik nyata. Parlemen Inggris (House of Common) mengontrol suplai dan pengeluaran uang publik yang dilakukan oleh pemerintah.

Selanjutnya, segala tindakan atau kebijakan pemerintah harus memiliki alas hukum yang jelas.

Di Amerika Serikat, praktik Hak Angket memang tidak secara eksplisit dinyatakan dalam Konstitusi negara tersebut. Namun, berbagai putusan Mahkamah Agung (Supreme Court), memberi kewenangan kepada Kongres dan Senat untuk melakukan penyidikan terhadap berbagai kasus, termasuk individu yang bukan aparat pemerintah dan juga pihak korporasi.

Kita ambil contoh dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat pada 1920-an. Dalam kasus McGrain melawan Dougherty (1927), Mahkamah memutuskan memberikan otoritas kepada Kongres dengan nama Congressional Committee, untuk melakukan pemanggilan kepada orang atau badan hukum yang dinilai melakukan pelanggaran.

Bagi mereka yang tidak datang memenuhi panggilan, dianggap melakukan pelecehan parlemen, dan itu pidana.

Kewenangan yang diberikan kepada Kongres dan Senat tersebut dikenal luas dengan prinsip members of the Senate and Congress to serve as the eyes and ears of the American public.

Hari-hari belakangan ini di republik kita, Indonesia, penggunaan Hak Angket oleh anggota DPR RI menjadi wacana keseharian yang menyedot perhatian publik. Semua lantaran hasil pemilu yang diumumkan melalui instrumen dan mekanisme quick count.

Ada pihak yang secara gamblang menolak, bahkan mengejek pihak yang menghendaki dilakukannya penggunaan Hak Angket. Mereka dianggap orang yang tidak kesatria menerima kekalahan dalam pemilihan presiden beberapa pekan lalu.

Posisi saya sangat jelas. Saya sangat mendukung penggunaan Hak Angket karena dasar hukumnya jelas tertuang dalam Pasal 20A (2) UUD 1945, DPR mempunyai Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat.

Penggarisan konstitusional tersebut, dielaborasi dalam Pasal 79 UU No 17 Tahun 2014 (UU MD3). Dalam undang-undang ini dikatakan bahwa Hak Angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Simpul kata, Hak Angket adalah mekanisme dan instrumen untuk mengontrol jalannya praktik pemerintahan dan kekuasaan. Ini menjadi praktik yang sangat sah di negara-negara demokratis. Tidak perlu lagi kita persoalkan.

Sekarang, pihak yang tidak menyetujui penggunaan Hak Angket berdalih bahwa hasil penggunaan hak tersebut sia-sia, mubazir dan sebagainya, karena tidak akan memengaruhi hasil perhitungan pemilihan presiden, yang bisa membatalkan hasil pilpres tersebut.

Kata mereka, kalau mau bersoal tentang hasil pilpres, dibawa ke ranah hukum saja, yakni Mahkamah Konstitusi.

Itu benar, karena ujung dari Hak Angket adalah rekomendasi belaka. Namun, yang hendak dijadikan isu utama dalam penggunaan Hak Angket kali ini bukan masalah kalkulasi perbedaan suara yang sangat mencolok antara pasangan No 2 dengan pasangan No 1 dan 3.

Yang hendak disoal dalam penggunaan Hak Angket adalah proses pemilu yang dinilai penuh aroma busuk. Proses pemilu adalah proses politik, karena itu, salurannya pun saluran politik, yakni DPR.

Katakanlah, misalnya, Hak Angket tersebut menyoal masalah bantuan sosial (bansos) yang disalahgunakan oleh penyelenggara negara untuk memenangkan pasangan tertentu.

Bansos tersebut memang tidak bisa dihitung secara eksak korelasinya dengan perolehan suara. Namun, bansos yang digelontorkan oleh Presiden Jokowi menjelang pilpres, terendus ketidakberesannya.

Coba kita lihat, jumlah bansos yang digelontorkan Jokowi sejak dua tahun terakhir, jauh lebih banyak dibanding bansos selama masa Covid-19 berlangsung, padahal eskalasi dan daya mematikan Covid-19 jauh lebih dahsyat.

Pemerintah mengatakan, bansos yang banyak digelontorkan menjelang pemilu karena banyak yang kena dampak El Nino. Alasan ini tentu saja kurang betah tinggal di pikiran orang yang berakal waras.

Dampak El Nino terfokus pada petani. Bukan terhadap orang-orang yang tinggal di perkotaan. Jadi bagaimana dengan bagi-bagi bansos di kota Jakarta, khususnya di depan Istana Negara?

Di situlah masalah utamanya. Bansos itu harus ditujukan kepada orang tertentu yang memiliki alamat dan status ekonomi yang jelas dan harus dibantu. Semua ini ada dasar hukumnya.

Searas dengan ini, timbul pertanyaan, mengapa sejak Gibran Rakabuming Raka dinyatakan lolos menjadi calon Wapres RI, jumlah bansos yang digelontorkan di daerah tertentu, misalnya Jawa Tengah, naik melangit, dan berapa kali Jokowi mengunjungi daerah tersebut selama putranya lolos jadi calon.

Hal-hal inilah yang hendak disoal di DPR kelak. Ini adalah bentuk pertanggungjawaban para anggota Dewan kepada rakyat yang mereka wakili, karena bagi-bagi bansos tanpa acuan sesuai aturan main adalah pemborosan uang negara dan penyalahgunaan kekuasaan.

Hak Angket juga bisa menyoal kelak mengapa aparat negara, termasuk para kepala desa, dilibatkan memenangkan pasangan calon tertentu, dan mengalahkan pasangan lainnya. Ini bukan rahasia lagi.

Mengapa Presiden Jokowi bisa membuat kebijakan mengangkat penjabat bupati dan wali kota, pada umumnya dari Jakarta? Selama ini, cukup eselon dua dari provinsi yang diturunkan. Dan masih banyak lagi rentetan kejadian miring yang terjadi selama proses pilpres berlangsung.

Penggunaan kekuasaan untuk memenangkan calon tertentu, adalah penyalahgunaan kekuasaan. Ini yang disebut kecurangan pemilu terstruktur karena menggunakan struktur dan organ negara.

Maka, memang ada baiknya penggunaan Hak Angket didukung luas. Biar masalah-masalah politik yang dilaksanakan secara tekor akhlak dan moral serta pelanggaran aturan, bisa dikanalisasi melalui mekanisme politik juga. Bukan dengan cara-cara kekerasan.

Bagaimana dengan mekanisme Mahkamah Konstitusi?

Ada baiknya kita menoleh ke belakang pada 2008. MK dibawa kepemimpinan Mahfud MD pernah membuat putusan membatalkan hasil pemilukada (bupati-walikota dan gubernur), dan mendiskualifikasi calon. Itu karena masuk dalam kategori pelanggaran terstruktur, sistemik, dan masif (TSM).

Sistemik berarti terdesain dengan baik dan meluas. Perencanaan pat gulipat sangat rapi.

Pilpres kita di hampir seluruh daerah mengalami fenomena sama, politik uang, serangan fajar, dan keterlibatan aparat negara, dan sebagainya.

Sementara masif berkaitan dengan implikasi masif dari perbuatan pejabat yang berkongkalikong.

Ini berarti, bola masih bergulir. Putusan MK dengan tolok ukur TSM tersebut, sudah menjadi preseden hukum, yang bisa saja terulang pada uji hasil pilpres yang telah dilaksanakan, kendati kepercayaan publik terhadap MK sudah mengalami delusi akibat ulah mantan ketuanya, Anwar Usman. Siapa tahu MK melakukan taubat nasuha.

Pada 2016 di kota Rio De Jeniro, Brasil, berlangsung kejuaraan Olimpiade. Dalam pertandingan final bulutangkis partai ganda campuran, pasangan Indonesia, Tontowi (Owi) Achmad-Liliyana Natsir (Butet) berhadapan dengan pasangan Malaysia, Chan Peng Soon-Goh Liu Ying.

Set pertama dimenangkan Owi-Butet dengan skor 21-14. Pada set kedua, Owi-Butet sudah meraih angka 19, sementara Peng-Yin masih di angka 12.

Owi sudah mulai loncat-loncat kecil pertanda kegirangan dan ingin segera mengakhiri permainan. Butet menunjuk-nunjuk Owi, mengingatkan bahwa game is not over yet.

Seorang pewarta wanita Inggris yang melaporkan jalannya pertandingan, tatkala melihat Owi meloncat-loncat, langsung berteriak: Be careful, it istill too early to celebrate (hati-hati, masih terlampau dini untuk melakukan selebrasi) karena masih ada dua angka yang tersisa. Segalanya bisa berubah. Begitu kira-kira jalan pikiran sang wartawati.

Saya pun membayangkan, Bawaslu kita sekarang ini berteriak kepada pasangan calon nomor 2 bahwa jangan terlampau dini melakukan selebrasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Posisi Jampidum Baru, Kejagung: Sudah Ditunjuk Pelaksana Tugas

Soal Posisi Jampidum Baru, Kejagung: Sudah Ditunjuk Pelaksana Tugas

Nasional
KPK Diusulkan Tidak Rekrut Penyidik dari Instansi Lain, Kejagung Tak Masalah

KPK Diusulkan Tidak Rekrut Penyidik dari Instansi Lain, Kejagung Tak Masalah

Nasional
Jokowi Tekankan Pentingnya Alat Kesehatan Modern di RS dan Puskesmas

Jokowi Tekankan Pentingnya Alat Kesehatan Modern di RS dan Puskesmas

Nasional
100.000-an Jemaah Umrah Belum Kembali, Beberapa Diduga Akan Berhaji Tanpa Visa Resmi

100.000-an Jemaah Umrah Belum Kembali, Beberapa Diduga Akan Berhaji Tanpa Visa Resmi

Nasional
KPU Bantah Lebih dari 16.000 Suara PPP Hilang di Sumut

KPU Bantah Lebih dari 16.000 Suara PPP Hilang di Sumut

Nasional
Tata Kelola Makan Siang Gratis

Tata Kelola Makan Siang Gratis

Nasional
Sandiaga Sebut Pungli di Masjid Istiqlal Segera Ditindak, Disiapkan untuk Kunjungan Paus Fransiskus

Sandiaga Sebut Pungli di Masjid Istiqlal Segera Ditindak, Disiapkan untuk Kunjungan Paus Fransiskus

Nasional
Pakar Ingatkan Jokowi, Pimpinan KPK Tidak Harus dari Kejaksaan dan Polri

Pakar Ingatkan Jokowi, Pimpinan KPK Tidak Harus dari Kejaksaan dan Polri

Nasional
Kritik Haji Ilegal, PBNU: Merampas Hak Kenyamanan Jemaah

Kritik Haji Ilegal, PBNU: Merampas Hak Kenyamanan Jemaah

Nasional
Jokowi Puji Pelayanan Kesehatan di RSUD Baharuddin Kabupaten Muna

Jokowi Puji Pelayanan Kesehatan di RSUD Baharuddin Kabupaten Muna

Nasional
KPK Siap Hadapi Gugatan Praperadilan Gus Muhdlor Senin Hari Ini

KPK Siap Hadapi Gugatan Praperadilan Gus Muhdlor Senin Hari Ini

Nasional
Jasa Raharja Santuni Semua Korban Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang  

Jasa Raharja Santuni Semua Korban Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang  

Nasional
Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Soal Waktu, Komunikasi Tidak Mandek

Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Soal Waktu, Komunikasi Tidak Mandek

Nasional
Bus Rombongan Siswa SMK Terguling di Subang, Kemendikbud Minta Sekolah Prioritaskan Keselamatan dalam Berkegiatan

Bus Rombongan Siswa SMK Terguling di Subang, Kemendikbud Minta Sekolah Prioritaskan Keselamatan dalam Berkegiatan

Nasional
Saat DPR Bantah Dapat Kuota KIP Kuliah dan Klaim Hanya Distribusi...

Saat DPR Bantah Dapat Kuota KIP Kuliah dan Klaim Hanya Distribusi...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com