MUNDURNYA Mahfud MD dari jabatan Menko Polhukam merupakan pertunjukan menarik di tengah badai moralitas politik akhir-akhir ini.
Pembicaraan paling aktual pada pilpres 2024 dari awal sampai sekarang adalah diskusi tentang etika dan moral.
Dimulai dari pencalonan salah satu cawapres yang dianggap bermasalah secara etis karena putusan Mahkamah Konstitusi, lalu eskalasinya memuncak dengan gimik-gimik yang ditunjukkan pada saat debat capres dan cawapres.
Pembicaraan mengenai etika dan moralitas semakin popular di setiap diskusi publik. Ditambah lagi dengan pernyataan Presiden Jokowi soal keberpihakannya dalam Pemilu sambil mengacungkan lembaran undang-undang untuk melegitimasi sikapnya.
Belum lagi bisik-bisik persoalan bantuan sosial (Bansos) dan bantuan langsung tunai (BLT) yang dianggap dimanfaatkan secara tidak etis untuk mengais perolehan elektoral calon tertentu. Semua isu itu masuk dalam pembicaraan etika dan moralitas politik yang terus menyeruak.
Kembalinya Mahfud menjadi politisi bebas dan akademisi yang tidak diembel-embeli tungkus jabatan Menko Polhukam diibaratkan pinang pulang ke tampuknya. Memang di situlah harusnya tempat Mahfud bernaung.
Mahfud kembali ke asalnya, bebas, kritis, berani, dan apa adanya. Kembali menjadi manusia bebas dan tidak terbebani oleh arus besar di belakangnya.
Mahfud menyampaikan bahwa dia menunggu momentum yang tepat untuk mundur dari jabatan tersebut.
Kapan momentum dan situasi yang tepat itu? Apakah memang murni pertimbangan etika politik ataupun hanya kepentingan elektoral? Hanya Mahfud yang benar-benar tahu.
Secara gamblang Mahfud menyebutkan ingin mencegah konflik kepentingan dan memberikan contoh kepada capres dan cawapres lainnya supaya tidak memberdayakan jabatannya untuk kepentingan elektoral.
Pemberian contoh yang dimaksudkan oleh Mahfud mungkin tidak bermaksud sarkastis terhadap calon yang lain.
Kondisi kebatinan yang dihadapi oleh Mahfud bisa saja dijadikan patokan kondisi kabinet sekarang. Mengingat dalam susunan kabinet terhimpun seluruh kekuatan yang saling berkontestasi dalam pilpres kali ini.
Siapa yang bisa menebak suasana kebatinan Mahfud? Mungkin terlalu prematur untuk melihat gambaran suasana kabinet hanya didasarkan pada pilihan politik Mahfud.
Peribahasa mengajarkan, “angin tak dapat ditangkap, asap tak dapat digenggam” (rahasia tidak selamanya dapat disembunyikan, akhirnya akan terbuka juga).
Sebelum Mahfud mundur, sudah ada desas-desus tentang beberapa menteri yang konon akan mundur dari kabinet. Belum lama juga, Mensos Tri Rismamaharini juga menyiratkan keberatannya tentang kondisi kabinet terkait bansos.
Walaupun kabar miring itu bisa dinetralisir, namun bau tidak sedap dari dapur Istana sepertinya sedang dan akan selalu berhembus.
Ditambah lagi dengan mundurnya salah seorang Deputi Kepala Staf Kepresidenan dengan alasan yang eksplisit: “tidak ingin dipersepsikan sebagai beban politik presiden karena memiliki pilihan politik yang berbeda”.
Mundurnya Mahfud menjadi perdebatan hangat antara batasan etika bernegara atau hanya bagian strategi pemenangan elektoral.
Ada yang menilai mundurnya Mahfud sudah terlambat dan hanya berlindung di balik retorika etika. Mahfud dituding hanya ingin membangun citra positif di sisa waktu sebelum pencoblosan.
Pernyataan tersebut tentu saja beralasan. Seandainya Mahfud menentukan pilihan mundur sejak awal pencalonan, mungkin pernyataan itu tidak akan keluar.
Namun begitulah cara kerja politik. Apapun pilihan yang diambil oleh politisi merupakan langkah problematik. Akan selalu ada yang menyalahkan.
Hans J. Morgenthau dalam artikelnya, “The Evil of Politics and the Ethics of Evil” menjelaskan bahwa tindakan politik seorang memiliki potensi untuk menjadi tidak bermoral jika berakibat negatif terhadap kebanyakan orang.
Dalam kasus ini, apakah langkah politik Mahfud merugikan banyak pihak atau tidak? Itu alat ukurnya.
Dilihat dari kepentingan elektoral, mundurnya Mahfud mungkin tidak akan berpengaruh secara signifikan. Walaupun pernyataan tersebut belum bisa dibuktikan secara ilmiah karena tidak ada angka pastinya.
Jika konsisten dengan pertimbangan etika dan moral, maka keputusan ini adalah langkah besar. Bukan soal menang kalah, tetapi soal mendidik nalar dan moral politik publik.
Kekuatan moral seorang politisi diuji ketika dia mampu menjaga etika dan moralitasnya dalam ingar bingar politik.
Bisa jadi keputusan mundurnya Mahfud dinilai penghianatan politik oleh sebagian orang. Namun siapa yang dikhianati? Bukankah penyimpangan kekuasaan itu salah satu bentuk pengkhianatan terhadap kedaulatan rakyat?
Pilihan politik Mahfud akan dimaknai berbeda, tergantung kelompok mana yang meresponsnya.
Setidaknya, pesan moral yang ingin ditunjukkan bahwa persoalan etika lebih utama dibanding urusan elektoral. Ke arah inilah harusnya para politisi melangkah.
Bagaimana caranya menghilangkan etika dalam diskusi politik akhir-akhir ini? Banyak yang risih. Jangan bicara etika terus, ini politik!
Lalu bagaimana caranya? Apakah kepentingan elektoral memang harus tanpa etika? Apa etika baru bisa dipraktikkan kalau sudah berkuasa? Justru dalam praktiknya kekuasaan itu menghilangkan etika.
Politik memang riuh, bising, dan memekakkan telinga. Namun politik tidak harus terlalu jauh dari rasionalitas dan moralitas.
Jalur kewarasan demokrasi harus tetap dijaga. Kita tunggu parade-parade etis lainnya dari seluruh pejabat publik yang berkoar-koar di panggung jabatan resmi sembari mempertontonkan gairah kepentingan pribadi. Masih ada waktu tentunya, sebelum nasib politik berkata lain.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.