Sementara Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Ahmad Muzani berkilah pemasangan stiker bergambar Prabowo-Gibran di kemasan beras merupakan hal yang lumrah terjadi.
"Itu bisa saja, tetapi saya belum melihat, karena di beberapa tempat juga yang seperti itu terjadi, beras Bulog," kata Muzani.
Di sisi lain, penyaluran bansos di musim kampanye dinilai kentara akan muatan politis. Kecurigaan ini semakin terlihat ketika Jokowi dan jajaran menteri pendukung Prabowo-Gibran sampai turun tangan membagikan bansos di tengah masyarakat.
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Riyana Hardjapamekas menyebut penyaluran bansos yang langsung dilakukan Jokowi dan menterinya bukanlah hal lazim.
"Seperti biasanya kan dilakukan oleh paling tinggi bupati/walikota atau bahkan kepala desa, kepala RT RW malah di tempat saya. Tidak harus oleh presiden. Terlalu kentara menurut saya (bahwa) ada maksudnya," kata Erry.
Erry menilai penyaluran bansos di musim kampanye justru menyandera dan bahkan menjadi alat intervensi bagi warga.
Baca juga: Mahfud Tegaskan Bansos Diberikan oleh Negara, Bukan Milik Pejabat Tertentu
Pernyataan Erry senapas dengan temuan Lembaga Survei dan Konsultkan Indopol ketika melakukan penelitian elektabilitas capres-cawapres dan partai politik pada 8-15 Januari 2024 dengan melibatkan 1.240 responden di 38 provinsi.
Dalam risetnya, peneliti Indopol mendapat penolakan dari warga akan kehadiran mereka. Penolakan ini diduga menyebabkan munculnya anomali undecided voters atau pemilih bimbang yang terbilang tinggi.
Hal ini seperti yang terjadi di beberapa wilayah di tiga provinsi, yakni Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten.
Di Jawa Timur, penolakan kehadiran peneliti Indopol terjadi di Surabaya, Kota Malang, Kota Blitar, dan Kabupaten Banyuwangi.
Indopol mengungkapkan, di empat wilayah tersebut, pihak kelurahan menolak memberikan stempel di lembar kartu keluarga (KK) warga yang menjadi responden Indopol.
Selain penolakan, pihak RT juga menyatakan tidak menerima kehadiran lembaga survei dengan dalih penelitian berlangsung ketika waktu semakin mendekati hari pencoblosan pada 14 Februari 2024. Penolakan ini disinyalir sebagai imbas program bansos.
"Alasannya karena survei dilaksanakan ketika waktu sudah mendekati pemilu agar wilayahnya tidak terpetakan. Terpetakan apa? Ini kaitannya hampir seluruhnya mengatakan takut ada imbas bantuan sosial," kata Direktur Eksekutif Indopol Ratno Sulistiyanto.
Indopol juga menemukan fenomena pemilih bimbang di Jawa Timur, khususnya di wilayah yang menjadi lumbung suara PDI Perjuangan maupun Ganjar. Tingkat pemilih bimbang bervariasi namun terbilang tinggi.
Wilayah tersebut meliputi, Blitar (85 persen), Kediri (40 persen), Kota Madiun (43,3 persen), Pacitan (24 persen), Kota Malang (22,9 persen), Kota Batu (32,5 persen), Mojokerto (55 persen), Jombang (67,5 persen), Bondowoso (70 persen), dan Probolinggo (43,8 persen).
Secara umum dengan tidak hanya mengacu wilayah basis PDI-P tersebut, Indopol telah menemukan sejumlah faktor yang menyebabkan pemilih bimbang tinggi. Di antaranya karena faktor penerimaan bansos hingga intervensi aparat.
Ratno mengatakan, responden pemilih bimbang yang menyatakan diberi bansos berkisar 1,05 persen. Sedangkan responden yang mengaku ditekan aparat Polisi dan pejabat pemerintahan mencapai 0,35 persen.
Dengan adanya fenomena ini, Indopol memutuskan untuk tak merilis peta elektabilitas capres-cawapres dan partai politik. Alasannya, respons dari responden dalam survei ini tidak menggambarkan realita elektabilitas yang sesungguhnya.
"Karena itu, kami tidak merilis temuan kami terkait elektabilitas capres dan cawapres maupun partai politik. Kami mengkhwatirkan jawaban itu tidak menggambarkan realita sesungguhnya," tegas Ratno.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.