Realita yang ada saat ini, banyak negara kuat ataupun maju yang seringkali meminggirkan perasaan karena pada dasarnya negara tidaklah memiliki hati layaknya manusia.
Belas kasihan atau prinsip-prinsip kemanusiaan seringkali dapat dilanggar apabila dihadapkan pada pemenuhan kepentingan nasional negaranya.
Contoh sederhana dapat kita munculkan dari pertanyaan berikut: ketika negara seperti Israel memiliki kepentingan dalam memusnahkan Hamas dari wilayah Gaza dan sekitarnya, apakah mereka melibatkan perasaan ataupun rasa kemanusiaan dalam pelaksanakan operasi militer agar tidak melibatkan korban warga sipil dari pihak Palestina?
Jatuhnya korban warga sipil di Palestina setidaknya menunjukkan sisi gelap kebijakan politik luar negeri, dalam hal ini seperti yang dilakukan oleh Israel.
Dalam mewujudkan kepentingan nasional suatu negara, perasaan, hati, termasuk sisi kemanusiaan dan perdamaian global, seringkali menjadi sesuatu yang tidak berarti untuk turut diperjuangkan.
Kedua, adalah prinsip “trust no one”. Dian Wirengjurit justru berpendapat dalam artikelnya bahwa terlalu percaya dengan negara lain justru memiliki akibat yang sangat fatal.
Sebagai contoh, kita tidak boleh lupa negara tetangga, yakni Australia, meskipun secara historis merupakan rekan kerja sama di bidang pendidikan dan ekonomi untuk saat ini, adalah negara pertama yang mendukung kemerdekaan Timor Timur untuk lepas dari Indonesia pada tahun 1980-an.
Australia melakukan ini akibat adanya pergeseran kebijakan dari kepentingan keamanan, yang semula mendukung Timor Timur untuk kembali ke NKRI dalam rangka menekan paham komunisme, menjadi kepentingan ekonomi guna menguasai pengelolaan sumber daya alam di wilayah celah Timor Timur.
Kondisi dunia yang saat itu menekan tindakan Indonesia atas pendudukan Timor Leste, membuat Australia memiliki peluang untuk memperjuangkan kepentingan ekonominya guna menguasai pengolahan minyak dan gas di wilayah selatan celah Timor.
Ketiga, prinsip “who gets what, when, and how” dalam politik yang terkadang memanfaatkan momen-momen oportunistik.
Dalam kasus kepentingan Australia di Timor Leste, misalnya, berlaku prinsip who (Australia) gets what (pengelolaan migas di celah Timor), when (Indonesia tengah ditekan dunia internasional akibat invasinya ke Timor Timur), and how (mendukung Timor Leste lepas dari NKRI).
Hal ini juga terjadi dalam berbagai contoh fenomena politik global lainnya, seperti invasi Israel ke wilayah Palestina.
Dalam meraih kepentingan nasional Israel, kebijakan politiknya akan selalu tentang who (Israel) gets what (wilayah dan jaminan keamanan), when (roket Hamas menyerang Israel sebagai justifikasi mempertahankan diri), and how (Invasi secara menyeluruh).
Prinsip politik ini pernah dikemukakan oleh Harold Laswell, seorang ilmuwan politik asal Amerika Serikat, yang menurut penulis sangat relevan ketika dihadapkan pada kasus di mana suatu negara menganggap negara-negara lainnya adalah teman baik dan tidak memiliki kewaspadaan politik antarsesama negara.
Keempat, adanya fakta bahwa hampir semua negara di dunia saat ini memiliki musuh. Semua negara yang eksis di zaman modern saat ini hampir semuanya memiliki musuh ataupun pesaing (rival) pada berbagai aspek.