JAKARTA, KOMPAS.com - Co-captain Tim Nasional Anies-Muhaimin, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, mengkritik kebijakan kenaikan pajak hiburan yang dilakukan pemerintah.
Menurut dia, kenaikan pajak hiburan ini akan mengecilkan industri hiburan di Indonesia.
"Sekarang pertanyaannya adalah sektor hiburan adalah sesuatu yang ingin kita hidupkan atau ciutkan?" kata Tom Lembong saat ditemui di Sekretariat Timnas Anies-Muhaimin di Jalan Diponegoro 10, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (19/1/2024).
Tom Lembong menilai, sektor hiburan seharusnya menjadi sektor yang bisa dikembangkan.
Baca juga: Pemerintah Kaji 2 Solusi Polemik Kenaikan Pajak Hiburan
Sebab, ada jutaan pelaku ekonomi kreatif berada di sektor tersebut.
"Jadi bagi saya kok kurang rasional, kita menghantam sektor yang justru banyak menyediakan lapangan kerja, banyak memperlihatkan sukses saat ini dan kalau digempur dengan pajak bagi saya kok kurang rasional ya," imbuh dia.
Menurut Tom Lembong, kenaikan pajak harusnya dilakukan pada sektor yang ingin dikurangi produksinya oleh pemerintah.
Misalnya, pajak makanan dengan tinggi gula seperti minuman manis yang memicu penyakit diabetes.
Baca juga: Menparekraf: Presiden Jokowi Minta Kenaikan Pajak Hiburan Ditunda
"Memicu obesitas, itu kan sebuah aspek konsumtif yang membawa dampak negatif bagi publik. Nah itu yg harus kita pajakin. Sementara hal-hal yang ingin kita tumbuhkan, jangan dipajakin karena itu disinsentif," ungkap dia.
Sebelumnya, pengacara kawakan sekaligus pengusaha, Hotman Paris mempertanyakan besaran pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kela malam, bar, dan mandi uap atau spa.
Melalui unggahan akun resmi Instagram-nya, Hotman mempertanyakan, besaran PBJT untuk jasa hiburan yang bisa mencapai 75 persen, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
"Pajak sd 75 persen persen? What?" tulis Hotman, dengan unggahan gambar bagian dari UU HKPD, dikutip Senin (8/1/2024).
Dalam unggahan lain, Hotman menyoroti potensi kenaikan pajak hiburan di Bali, yang mencapai 40 persen.
Menurut dia, besaran pajak tersebut berpotensi mengganggu kinerja industri hiburan di wilayah tersebut.
"Jika pariwisata menurun maka masyarakat yg sengsara! Aduh bali baru pulih dari corona sekarang ada ancaman pajak yg buat turis pilih negara lain," tulis Hotman.
Baca juga: Pajak Hiburan Naik, Pekerja Kelab Malam: Persaingan Makin Ketat, Lapangan Pekerjaan Jadi Sedikit
Menanggapi hal tersebut, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Ditjen Pajak Kemenkeu) menyatakan, pengaturan besaran PBJT merupakan kewenangan pemerintah daerah. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU HKPD.
"Pajak hiburan itu adalah pemerintah daerah," ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Dwi Astuti, di Jakarta, Senin (8/1/2024).
Lebih lanjut Dwi bilang, sebagaimana diatur dalam UU HKPD besaran pungutan PBJT mutlak ditentukan oleh pemerintah daerah.
Pemerintah pusat hanya menentukan besaran minimal dan maksimal pungutan PBJT.
"Yang tidak diatur oleh pemerintah pusat adalah memang kewenangan sepenuhnya dari pemerintah daerah," ucapnya.
Sebagai informasi, PBJT merupakan integrasi dari 5 jenis pajak daerah yang berbasis pada konsumsi, mulai dari pajak hiburan, parkir, hotel, restoran, hingga penerangan jalan.
Pajak ini dibayarkan oleh konsumen akhir atas suatu konsumsi barang atau jasa tertentu.
Lewat Pasal 58 UU HKPD disebutkan, tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10 persen.
Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.