Selanjutnya akan melakukan love bombing seperti rayuan, pujian, dan tindakan yang menunjukkan merasa butuh pada pasangannya sehingga meluluhkan hati korban KDRT, begitu seterusnya hingga KDRT terulang.
Meski begitu, ada pula faktor lain yang membuat korban KDRT bertahan dalam hubungan tersebut, yaitu keberadaan anak atau ketergantungan secara ekonomi/relasi kuasa.
Sesungguhnya pemerintah telah menaruh perhatian lebih terhadap kasus KDRT. Hal ini nampak dari adanya UU PKDRT sejak hampir 20 tahun lalu.
Larangan dan ancaman pidana terhadap pelaku KDRT tercantum dalam Pasal 44 UU PKDRT dengan ancaman hukuman yang beragam tergantung pada jenis tindakan dan akibat yang ditimbulkan.
Adapun pasal-pasal tersebut berbunyi:
Pasal 44 Ayat (1) UU PKDRT: “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).”
Pasal 44 Ayat (2) UU PKDRT: “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).”
Pasal 44 Ayat (3) UU PKDRT: “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).”
Pasal 44 Ayat (4) UU PKDRT: “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).”
Dihadapkan dengan kompleksnya kasus KDRT, korban seringkali enggan melaporkan dan memutuskan tetap bertahan dalam hubungan toxic tersebut.
Menjadi korban KDRT bukanlah aib yang harus ditutupi. Hal ini perlu kesadaran yang mendalam, baik dari sisi korban maupun lingkungan sekitar demi keamanan korban secara fisik dan mental.
Terus menerus berada dalam situasi yang mencekam juga tidak baik bagi fisik dan mental, apalagi bagi tumbuh kembang anak.
Lingkungan sekitar juga diharapkan mampu memberikan perhatian terhadap apa yang terjadi di sekitar sehingga dapat mengambil langkah preventif.
Apabila menjadi korban KDRT, maka sebaiknya korban mau dan berani untuk melapor dengan melampirkan bukti-bukti baik foto, video maupun hasil pemeriksaan atas akibat yang ditimbulkan dari KDRT tersebut guna menjadi bukti pendukung saat melaporkan kepada pihak-pihak terkait.
Adapun korban KDRT dapat melapor kepada Kepolisian, Kementerian PPA, Komnas Perempuan, maupun Lembaga Bantuan Hukum yang tersedia di domisili korban.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.