Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Doddy Salman
Dosen

Mengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara Jakarta

Menuju Kampanye Bermutu

Kompas.com - 09/12/2023, 08:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MULAI 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024, pemilihan presiden (pilpres) memasuki masa kampanye.

Pasangan Anies Baswedan- Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD memulai tahapan merebut hati dan pikiran 204,8 juta pemilik suara di dalam dan luar negeri.

Masa kampanye ini juga menandai kelima kalinya rakyat Indonesia memilih presiden dan wakil presiden pasca-Orde Baru.

Permasalahannya bagaimana caranya agar kampanye kali ini lebih bermutu daripada kampanye pilpres sebelumnya?

Roderick P. Hart (2000) dalam bukunya Campaign Talk: Why Elections Are Good for Us menekankan pentingnya apa yang disampaikan politisi ketika masa kampanye. Opini yang sayup-sayup terdengar di keriuhan kekecewaan sikap tindak para politisi.

Menurut Hart, bahkan di saat layar televisi ramai menyiarkan kampanye, banjir iklan politik, jajak pendapat di media atau abad 21 ini pendengung (buzzer) di media sosial yang mengubah kampanye bak arena para profesional pemasaran, masa kampanye penting jika tercipta dialog.

Hart meyakini bahwa kampanye memainkan peran penting dalam menjaga demokrasi, terutama karena kampanye menciptakan dialog antara kandidat, pers, dan rakyat.

Dalam setiap kampanye, rakyat yang hadir memilih kata-kata mereka dengan berbeda kepada calon pemimpinnya. Menurut Hart, ini menjadi tantangan yang membuat frustasi bagi siapa pun yang mencoba memahami isu-isu tersebut.

Namun, Hart meyakini bahwa proses ini baik karena kampanye memberi tahu masyarakat tentang isu-isu, membuat masyarakat lebih peka terhadap kekhawatiran orang lain, dan mendorong voters untuk memberikan suara atau setidaknya meningkatkan pemahaman kita terhadap dunia politik.

Dialog menjadi persyaratan utama jika ingin menciptakan kondisi bahwa kampanye berperan penting menjaga demokrasi.

Persoalannya setelah empat kali kampanye pemilu presiden di Indonesia cenderung didominasi situasi monolog, alih-alih dialog.

Memang ada tanya jawab antara juru kampanye sebagai komunikator dengan peserta pemilu. Namun seringkali jurkam tidak memperkenankan perbedaan pendapat.

Di acara debat presiden yang muncul bukannya perbedaan sudut pandang, tetapi justru kesamaan pandangan.

Semua kegiatan dibungkus dengan kata dialog, tetapi hakikatnya yang terjadi adalah monolog. Monolog adalah ketika komunikator menciptakan situasi mendominasi, mengeksploitasi, bahkan mendistorsi informasi lawan bicara.

Wayne Brockriede dalam tulisannya Arguers as Lovers (1972) mengklasifikasikan tiga komunikator.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com