Karena tak berdasarkan proses, maka ada risiko atau dampak yang kerap mengiringi hadirnya pemimpin dan kepemimpinan secara instan itu.
Seperti akan lahir keputusan yang kurang matang, kurangnya keterampilan kepemimpinan yang diperlukan, dan kemungkinan ketidakpuasan atau ketidakpercayaan dari khalayak.
Dalam banyak catatan sejarah, pemimpin instan kerap memengaruhi kinerja organisasi atau cakupan yang dipimpin secara negatif.
Semua yang instan, seperti halnya mie instan, kerap meninggalkan berbagai pengaruh atau dampak yang buruk. Cepat dalam penyajian, namun tak sehat.
Dalam konteks pemimpin politik, memiliki pemimpin instan dapat menyebabkan kebijakan yang tidak terencana dengan baik, ketidakstabilan politik, dan potensi ketidakpuasan yang lebih besar di masyarakat.
Kekurangan pengalaman dan keterampilan kepemimpinan di ranah politik dari pemimpin instan dapat mengakibatkan keputusan tidak efektif atau kontroversial, dan itu tentu menjadi alamat buruk.
Akan tetapi, pemimpin instan tidak melulu soal kegagalan dan dampak buruk. Ada juga cerita bagaimana mana pemimpin yang lahir dari proses instan bisa lekas beradaptasi dan meng-upgrade diri.
Sekalipun sejauh ini belum banyak literatur yang secara eksplisit membahas "pemimpin instan," namun sejumlah literatur kepemimpinan dan manajemen turut membahas tantangan yang dihadapi pemimpin instan.
Seperti "The First 90 Days" yang ditulis Michael D. Watkins (2023) atau "Leadership in Turbulent Times" karya Doris Kearns Goodwin (2018), memberikan wawasan tentang adaptasi yang dapat dilakukan pemimpin instan, menghadapi situasi tak terduga.
Menjelaskan bahwa pemimpin instan yang mendapatkan tanggung jawab dengan cepat tanpa satu persiapan yang memadai, tapi melalui proses adaptasi secara cepat, situasi dan kondisi dalam kepemimpinan bisa dikendalikan atau dimitigasi.
Di sini titik tekannya adalah, karena instan dan ‘kaget’, periode transisi mesti dimanfaatkan secara baik untuk melakukan adaptasi, Jika tidak, maka pemimpin instan akan sulit berdaya guna dan kehilangan momentum.
Sehingga para pemimpin (politik) yang lahir dari satu proses instan, karena privilege yang didapat, bukan melalui kaderisasi berjenjang lewat organisasi atau partai politik harus mereposisi diri secara cermat.
Hal itu dapat meliputi optimalisasi fase transisi, pemahaman budaya berorganisasi untuk membantu pemimpin instan (baru) berintegrasi lebih baik, dan menghindari kesalahan yang merugikan hubungan atau pengaruh kinerja di internal maupun eksternal.
Dengan begitu, pemimpin instan bukan lantas akan gagal atau tidak maksimal, tergantung bagaimana seseorang yang diberikan amanah, mengelola potensi, pun memitigasi berbagai kelemahan dan kekurangan yang dimiliki.
Memang idealnya adalah pemimpin politik harus lahir lewat satu proses yang matang dan berjenjang, sehingga lebih teruji. Menjadi garansi atau kepastian bagi jalannya satu kepemimpinan.