Dua istilah itu merupakan labelisasi terhadap masing-masing pendukung dua capres pada Pilpres 2019, Jokowi dan Prabowo.
Istilah “cebong” diasosiasikan dengan pendukung Jokowi, sementara “kampret” diasosiasikan dengan pendukung Prabowo. Saat itu antara Jokowi dan Prabowo sedang berebut tiket presiden, yang berakhir dengan kemenangan Jokowi.
Baik “cebong’ maupun “kampret” merupakan labelisasi serampangan yang cenderung mengejek dan merendahkan satu sama lain. Inilah sumber ketegangannya.
Penokohan di dramaturgi biasa dipilah menjadi tokoh protagonis dan antagonis. Di drama Pilpres 2024, saya kira, bisa ditambah dengan meminjam teori rasionalitas Weber.
Ujung politik tak lain adalah kekuasaan. Tak pernah berubah sejak dahulu kala. Yang berubah adalah pernak-pernik cara kekuasaan diraih dan diselenggarakan.
Pemilu merupakan cara kekuasaan diraih menurut sistem negara demokrasi. Tentu saja berbeda dengan sistem kerajaan.
Sistem demokrasi yang dianut bangsa Indonesia terbentuk bukan tiba-tiba, melainkan melalui pergolakan sosial-politik yang keras dan berdarah-darah.
Dari negara kolonial Hindia-Belanda ke negara Republik Indonesia, dari rezim Soekarno ke rezim Soeharto, dari era Orde Baru (Soeharto) ke era reformasi.
Karena itu, tentu saja ada kaidah dan nilai-nilai kepatutan yang dilembagakan, yang diorientasikan pada cita-cita proklamasi kemerdekaan. Nah, di sinilah rasionalitas Weber menarik dipakai.
Pertama, tokoh bertipe rasionalitas formal. Bagi tokoh bertipe rasionalitas formal, aktivitas politik dihayati semata-mata sebagai pragmatisme meraih kekuasaan.
Etika dan nilai-nilai keluhuran akan dipertimbangkan sepanjang mendukung upaya meraih kekuasaan.
Tokoh tipe ini juga gampang tergoda oleh penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan sempit, termasuk korupsi. Persekutuan yang dibangun cenderung berorientasi pada kepentingan pragmatis, termasuk mempertahankan kekuasaan.
Kedua, tokoh bertipe rasionalitas substantif. Buat tokoh tipe ini, aktivitas politik dihayati sebagai pelaksanaan prinsip keyakinan dan pencapaian idealisme politik. Kekuasaan memang tujuan dari aktivitas politik.
Namun, pencapaian dan penggunaannya justru mempertimbangkan dan berorientasi pada etika dan nilai-nilai keluhuran.
Di benak tokoh bertipe rasionalitas substantif, berpolitik berarti berupaya meraih kekuasaan secara patut demi publik, bukan pribadi, bukan keluarga, bukan pula kelompok, bukan kepentingan pragmatis.
Sepakterjangnya senantiasa memberikan keteladanan yang berimplikasi pada pendidikan politik. Persekutuan yang dibentuk pun cenderung konstruktif bagi sistem sosial keseluruhan.
Para penonton drama Pilpres 2024 yang budiman, silakan menganalisis aspek penokohan sambil terus menanti episode selanjutnya, yang mungkin saja lebih menegangkan dan penuh teka-teki.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.