Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ignatius B Prasetyo

A Masterless Samurai

Dansa Politisi dan Politik Kuantum

Kompas.com - 08/09/2023, 13:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

POLITIK memang susah ditebak. Apalagi menjelang pergelaran pemilu, seperti saat ini.

Meminjam istilah Presiden ke-5 RI yang juga Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri, suasana politik menjelang pemilu digambarkan seperti orang berdansa. Pasangan dansa juga berganti-ganti pastinya.

Muhaimin Iskandar sekarang “berdansa” dengan Anies Baswedan. Sementara Budiman Sudjatmiko “berdansa” dengan Prabowo Subianto. Saya masih menunggu, entah siapa lagi nanti yang akan “berdansa”.

Sayangnya saya tak cakap berdansa. Karena tidak mahir berdansa, sulit untuk menebak jika ditanya jenis dansa apa yang mereka lakukan. Mungkin saja mereka berdansa waltz. Bisa jadi dansa mambo, rumba, atau bahkan pasodoble!

Dengan alasan susah ditebak itulah, maka agar dapat (sedikit) memahami politik, terkadang para pakar menggunakan pendekatan melalui bidang ilmu lain, misalnya fisika.

Akan tetapi, pendekatan menggunakan teori fisika pun terkadang hasilnya kurang memuaskan.

Salah satu alasan mengapa hasilnya jauh dari harapan adalah, pendekatan dilakukan secara fisika klasik. Yaitu memandang semua peristiwa terjadi secara sistematis dalam sudut pandang newtonian (merujuk pada hukum fisika newton).

Dunia politik itu penuh kejutan. Pendekatan cara klasik dirasakan tak mampu lagi menjabarkan fenomena politik yang terjadi, apalagi pada zaman kiwari. Peristiwa politik kebanyakan bersifat dinamis, kompleks, dan tidak dapat diprediksi.

Untuk menggantikan pendekatan secara (fisika) klasik yang dirasa tidak bisa mengakomodasi keadaan sebenarnya, pendekatan melalui paradigma fisika lebih modern dipakai sebagai penggantinya.

Lebih spesifik lagi, para pakar melakukan pendekatan menggunakan teori kuantum sebagai pembaruan dari metode klasik. Alasannya, menurut prakiraan, teori kuantum lebih cocok digunakan untuk memprediksi peristiwa politik yang sifatnya kompleks dan dinamis.

Sebenarnya penggunaan teori kuantum pada politik sudah dimulai sejak 1928. Momen penting penggunaan teori kuantum untuk politik adalah diterbitkannya buku Quantum Politics (1991) dengan Theodore L. Becker sebagai editor.

Sedikit mengenai kuantum, teori yang muncul pada awal abad ke-20 digunakan untuk menerangkan fenomena aneh partikel berukuran lebih kecil dari atom, misalnya photon dan electron.

Di dunia subatom, sebenarnya kita tidak tahu secara pasti keadaan partikel. Orang hanya bisa menebak, dari akumulasi atas hasil pengamatan kemungkinan keadaan.

Lagi pula, pada level mikro, partikel secara individu tidak begitu penting. Yang utama adalah bagaimana interaksinya.

Seperti dikatakan oleh Fritjof Capra di bukunya The Turning Point (1982): “Pada Fisika modern, interaksi antara bagian-bagian di level subatom secara keseluruhan adalah hal fundamental, dibandingkan dengan bagian-bagian itu sendiri. Sehingga pergerakan bisa dilihat, meskipun tak ada yang bergerak. Ada aktivitas, namun tidak ada pelaku. Ada tarian, namun tak terlihat penarinya.”

Jika menggunakan premis tersebut, maka kita dapat sedikit tercerahkan dengan peristiwa menarik “dansa” yang diungkapkan oleh Megawati. Ada tarian (spesifiknya dansa), namun orang tidak tahu jenis dansa apa yang dilakukan dan apa maksud dari dansanya.

Politik Kuantum atau penerapan teori kuantum pada politik, mungkin sulit dipahami. Agak runyam jika tujuannya adalah benar-benar digunakan secara pragmatis.

Dibutuhkan persiapan seperti pemahaman matematika tingkat lanjut, supaya paham kuantum. Harus siap juga untuk pusing tujuh keliling.

Sebaiknya saya selisik saja dari dua karakteristik kuantum, agar lebih mudah. Kemudian melihat analoginya di dunia perpolitikan (dunia nyata).

Pertama, karakteristik superposition. Ini adalah keadaan yang bisa direpresentasikan secara jamak. Saya ambil perbandingan antara komputer konvensional dan komputer kuantum, supaya lebih gampang.

Komputer konvensional menggunakan komponen dasar transistor yang berfungsi sebagai switch. Sehingga keadaan yang bisa direpresentasikan hanya dua, yaitu "on" (1) dan "off" (0).

Dengan kata lain, hanya ada dua nilai (biasa disebut bit atau binary digit), yaitu 0 dan 1. Output-nya pun mampu diprediksi dan tidak berubah (kalau bukan "0" pasti "1").

Sedangkan komputer kuantum menggunakan unit dasar qubit (quantum bit, atau biasa juga disebut qbit), bisa mempunyai nilai 0, 1, 01(10), antara 0 dan 1, atau sekaligus semuanya. Output komputer kuantum juga sukar diprediksi karena keadaan bisa berubah.

Mungkin Anda pernah membaca tentang eksperimen teoretis Schrodinger’s cat. Situasinya seekor kucing dimasukkan ke dalam kotak tertutup, di dalamnya ada zat radioaktif, palu, pencacah Geiger dan racun.

Teorinya, jika zat radioaktif meluruh, maka kucing akan mati. Akan tetapi menurut teori kuantum, keadaan kucing bisa hidup, atau mati, bisa juga keduanya, selama kotak belum dibuka. Orang tahu keadaan kucing (hidup atau mati) setelah membuka kotak.

Contoh lain, Anda tahu sinetron Si Doel Anak Sekolahan? Nah, untuk mendapatkan gambaran lebih jelas bagaimana superposition itu, kita bisa ambil analogi perasaan si Doel.

Dia kadang kala tertarik dengan Zaenab. Namun di lain waktu dia tertarik dengan Sarah. Bahkan di dalam hatinya, Doel ingin memiliki keduanya.

Singkatnya, kita bisa anggap superposition itu plintat-plintut. Dalam perpolitikan Indonesia, kita tidak asing lagi dengan sifat plintat-plintut bukan? Kalau meminjam pepatah Jawa, esuk dhele sore tempe (pagi kedelai, sore tempe).

Tidak usah pusing lagi kalau ada politikus “dansa-dansi” menjelang pemilu. Ingat bahwa mereka sedang meniru karakteristik superposition-nya kuantum.

Kedua, karakteristik entanglement. Ini adalah suatu keadaan di mana partikel dapat memengaruhi partikel lain meskipun lokasinya berjauhan.

Partikel yang berjauhan itu mempunyai perilaku bak satu kesatuan dengan karakteristik sama.

Dalam politik juga begitu. Masyarakat mungkin bisa melihat masing-masing orang berdansa. Akan tetapi, jangan dilihat hanya dansanya saja.

Kita sering melihat politikus, meskipun dari partai sama, melakukan hal bertentangan. Bahkan komentar/pendapat untuk hal yang sama pun, kadang bertentangan.

Tidak perlu heran, sebab mereka sedang memainkan perannya sendiri, sebagai bagian dari entanglement itu. Kita harus melihat dengan sudut pandang lebih luas, dan menginterpretasikan semuanya sebagai suatu kesatuan. Pasti ada tujuan/maksud dari semua itu.

Baiklah sebelum menutup tulisan, saya kira tak perlu pusing dengan intrik politik. Ingat saja satu hal, bahwa politik dan kuantum itu, sebelas dua belas. Semakin tidak pasti, justru semakin menarik. Itulah kesimpulan saya tentang politik kuantum.

Nikmati semua, termasuk dansa-dansinya. Jika kurang nikmat, kita juga punya istilah politik lain yang lebih yahud untuk dinikmati. Contohnya politik kardus, politik dagang sapi, politik arisan, politik uang dan lain-lain.

Namun jangan lupa satu hal. Nanti saat mencoblos, diharapkan memilih berdasarkan pertimbangan sosiologis, psikologi matang dan yang terpenting, secara rasional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bantah Menang Pilpres Akibat Bansos, Prabowo: Tuduhan Kosong

Bantah Menang Pilpres Akibat Bansos, Prabowo: Tuduhan Kosong

Nasional
[POPULER NASIONAL] Reaksi Usai Prabowo Tak Mau Pemerintahannya Diganggu | Auditor BPK Minta 'Uang Pelicin' ke Kementan

[POPULER NASIONAL] Reaksi Usai Prabowo Tak Mau Pemerintahannya Diganggu | Auditor BPK Minta "Uang Pelicin" ke Kementan

Nasional
Sejarah Hari Buku Nasional

Sejarah Hari Buku Nasional

Nasional
Tanggal 15 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 15 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
UPDATE BNPB: 19 Orang Meninggal akibat Banjir Bandang di Agam Sumbar

UPDATE BNPB: 19 Orang Meninggal akibat Banjir Bandang di Agam Sumbar

Nasional
KNKT Investigasi Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang, Fokus pada Kelayakan Kendaraan

KNKT Investigasi Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang, Fokus pada Kelayakan Kendaraan

Nasional
Partai Buruh Berniat Gugat Aturan Usung Calon Kepala Daerah ke MK

Partai Buruh Berniat Gugat Aturan Usung Calon Kepala Daerah ke MK

Nasional
Cerita Sulitnya Jadi Ketua KPK, Agus Rahardjo: Penyidik Tunduk ke Kapolri, Kejaksaan, Sampai BIN

Cerita Sulitnya Jadi Ketua KPK, Agus Rahardjo: Penyidik Tunduk ke Kapolri, Kejaksaan, Sampai BIN

Nasional
Jemaah Haji Mulai Diberangkatkan, Fahira Idris: Semoga Sehat, Selamat, dan Mabrur

Jemaah Haji Mulai Diberangkatkan, Fahira Idris: Semoga Sehat, Selamat, dan Mabrur

Nasional
Jemaah Haji Gelombang Pertama Tiba di Madinah, Disambut Meriah

Jemaah Haji Gelombang Pertama Tiba di Madinah, Disambut Meriah

Nasional
Jokowi Diminta Tak Cawe-cawe Pemilihan Capim KPK

Jokowi Diminta Tak Cawe-cawe Pemilihan Capim KPK

Nasional
PBNU: Pratik Haji Ilegal Rampas Hak Kenyamanan Jemaah

PBNU: Pratik Haji Ilegal Rampas Hak Kenyamanan Jemaah

Nasional
Prabowo Disebut Bisa Kena Getah jika Pansel Capim KPK Bentukan Jokowi Buruk

Prabowo Disebut Bisa Kena Getah jika Pansel Capim KPK Bentukan Jokowi Buruk

Nasional
Gerindra Dorong Penyederhanaan Demokrasi Indonesia: Rakyat Tak Harus Berhadapan dengan TPS

Gerindra Dorong Penyederhanaan Demokrasi Indonesia: Rakyat Tak Harus Berhadapan dengan TPS

Nasional
Sekjen Gerindra Sebut Revisi UU Kementerian Negara Dimungkinkan Tuntas Sebelum Pelantikan Prabowo

Sekjen Gerindra Sebut Revisi UU Kementerian Negara Dimungkinkan Tuntas Sebelum Pelantikan Prabowo

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com