Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Eki Baihaki
Dosen

Doktor Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad); Dosen Pascasarjana Universitas Pasundan (Unpas). Ketua Citarum Institute; Pengurus ICMI Orwil Jawa Barat, Perhumas Bandung, ISKI Jabar, dan Aspikom Jabar.

Dialektika Menjadi Indonesia

Kompas.com - 30/08/2023, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet" - Shakespeare

KALIMAT Yuliet kepada Romeo, kekasihnya. “Apalah arti sebuah nama? Meski disebut dengan nama lain, mawar tetaplah harum semerbak wanginya.”

Bagi seorang nasionalis, nama Indonesia adalah nama yang senantiasa ada dalam sanubarinya, ada relasi cinta, harapan, dan komitmen kepada negara tercintanya.

Nama Indonesia yang telah ditahbiskan menjadi nama Negara Kesatuan Republik indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1945, sesungguhnya masih dalam proses menjadi (becoming) Indonesia.

Karena tujuan negara yang diamanatkan dalam konstitusi untuk melindungi segenap tumpah darah, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan kesejahteraan masih harus diperjuangkan oleh segenap anak bangsa.

Nama Indonesia, merupakan dialektika nama yang memiliki sejarah global yang dicetuskan dan diviralkan oleh etnolog berkebangsaan Inggris dan Jerman.

Sampai akhirnya, nama Indonesia benar-benar resmi digunakan sebagai nama negara Kesatuan Republik Indonesia, yang saat ini memasuki usia ke 78.

Bila ditelusuri lebih jauh, sejarah mengenai asal mula Negara kita memakai nama Indonesia tercantum dalam judul artikel “Tentang Nama Indonesia” di buku “Mohammad Hatta: Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1927-1977)".

Diawali oleh Pemerintahan Kerajaan Belanda yang memakai nama Nederlandsch-Indie atau Hinda-Belanda.

Nama “Indonesia” pertama kali muncul 1850, di majalah ilmiah tahunan, "Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA)", yang terbit di Singapura.

Penulisnya adalah etnolog Inggris: James Richardson Logan dan George Samuel Windsor Earl. Saat itu, nama Hindia—nama wilayah kita saat itu—sering tertukar dengan nama India.

Karena itu, keduanya berpikir, daerah jajahan Belanda ini perlu diberi nama tersendiri. Earl mengusulkan dua nama: "Indunesia" atau "Malayunesia".

Earl memilih Malayunesia. Sedangkan Logan yang memilih nama Indunesia. Belakangan, Logan mengganti huruf “u” dari nama tersebut menjadi “o”. Jadilah: INDONESIA

Tahun 1884, guru besar etnologi di Universitas Berlin bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada 1864 sampai 1880.

Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian.

Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.

Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama Tanah Air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.

Hingga akhirnya Negara kita resmi bernama Indonesia melalui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Nama "Indonesia" sesungguhnya berasal dari berbagai rangkaian sejarah yang puncaknya terjadi di pertengahan abad ke-19.

Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia dengan aneka nama, sementara kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan").

Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan dari kata dalam bahasa Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang).

Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", diperkirakan Pulau Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Nama "Indonesia" berasal dari dua kata Yunani, yaitu Indus yang berarti "India" dan kata Nesos yang berarti pulau/kepulauan, maka "Indo-nesia" berarti "kepulauan India".

Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera.

Nama lain yang kelak juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).

Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945, memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini.

Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde", yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berarti pulau).

Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20.

Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda pada 1913, ia mendirikan biro pers dengan nama Indonesische Persbureau.

Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917).

Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan.

Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.

Pada 1922, atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu Tanah Air pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."

Di Indonesia, Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pada 1925, Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di Tanah Air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia".

Pada Agustus 1939, tiga orang anggota Volksraad, Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Permohonan ini ditolak.

Sementara itu, Kamus Poerwadarminta yang diterbitkan pada tahun yang sama mencantumkan lema nusantara sebagai bahasa Kawi untuk "kapuloan (Indonesiah)".

Dengan pendudukan Jepang pada 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda". Pada 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.

Terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah mukjizat (miracle), fakta historis-sosiologis di luar jangkauan nalar.

Bayangkan saja, negara kesatuan yang terdiri atas 17.000-an pulau, memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, dan terdapat 1.340 sub etnis.

Lebih dari 500 bahasa lokal, puluhan keyakinan keagamaan dan kepercayaan, ratusan tradisi, yang kesemuanya bergabung ke dalam rumah bersama bernama Republik Indonesia.

Tak ada preseden dalam sejarah, negara kepulauan yang sedemikian besar menjadi negara kesatuan. Ini bisa dibandingkan negara Barat, China dan India yang merupakan negara kontinental.

Atau negara-negara Arab yang memiliki kesamaan agama, bahasa dan daratan, tapi terbagi menjadi lebih dari 20 negara.

Negara adalah organisme hidup, yang mengikuti daur siklus kehidupan, yaitu: lahir, tumbuh, berkembang hingga ahirnya mati.

Sampai kapan NKRI tetap eksis tergantung komitmen dan daya juang seluruh anak bangsa merawat dan membela NKRI. Dirgahayu Indonesia tercinta!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPK Diusulkan Tidak Rekrut Penyidik dari Instansi Lain, Kejagung Tak Masalah

KPK Diusulkan Tidak Rekrut Penyidik dari Instansi Lain, Kejagung Tak Masalah

Nasional
Jokowi Tekankan Pentingnya Alat Kesehatan Modern di RS dan Puskesmas

Jokowi Tekankan Pentingnya Alat Kesehatan Modern di RS dan Puskesmas

Nasional
100.000-an Jemaah Umrah Belum Kembali, Beberapa Diduga Akan Berhaji Tanpa Visa Resmi

100.000-an Jemaah Umrah Belum Kembali, Beberapa Diduga Akan Berhaji Tanpa Visa Resmi

Nasional
KPU Bantah Lebih dari 16.000 Suara PPP Hilang di Sumut

KPU Bantah Lebih dari 16.000 Suara PPP Hilang di Sumut

Nasional
Tata Kelola Makan Siang Gratis

Tata Kelola Makan Siang Gratis

Nasional
Sandiaga Sebut Pungli di Masjid Istiqlal Segera Ditindak, Disiapkan untuk Kunjungan Paus Fransiskus

Sandiaga Sebut Pungli di Masjid Istiqlal Segera Ditindak, Disiapkan untuk Kunjungan Paus Fransiskus

Nasional
Pakar Ingatkan Jokowi, Pimpinan KPK Tidak Harus dari Kejaksaan dan Polri

Pakar Ingatkan Jokowi, Pimpinan KPK Tidak Harus dari Kejaksaan dan Polri

Nasional
Kritik Haji Ilegal, PBNU: Merampas Hak Kenyamanan Jemaah

Kritik Haji Ilegal, PBNU: Merampas Hak Kenyamanan Jemaah

Nasional
Jokowi Puji Pelayanan Kesehatan di RSUD Baharuddin Kabupaten Muna

Jokowi Puji Pelayanan Kesehatan di RSUD Baharuddin Kabupaten Muna

Nasional
KPK Siap Hadapi Gugatan Praperadilan Gus Muhdlor Senin Hari Ini

KPK Siap Hadapi Gugatan Praperadilan Gus Muhdlor Senin Hari Ini

Nasional
Jasa Raharja Santuni Semua Korban Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang  

Jasa Raharja Santuni Semua Korban Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang  

Nasional
Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Soal Waktu, Komunikasi Tidak Mandek

Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Soal Waktu, Komunikasi Tidak Mandek

Nasional
Bus Rombongan Siswa SMK Terguling di Subang, Kemendikbud Minta Sekolah Prioritaskan Keselamatan dalam Berkegiatan

Bus Rombongan Siswa SMK Terguling di Subang, Kemendikbud Minta Sekolah Prioritaskan Keselamatan dalam Berkegiatan

Nasional
Saat DPR Bantah Dapat Kuota KIP Kuliah dan Klaim Hanya Distribusi...

Saat DPR Bantah Dapat Kuota KIP Kuliah dan Klaim Hanya Distribusi...

Nasional
Hari Kedua Kunker di Sultra, Jokowi Akan Tinjau RSUD dan Resmikan Jalan

Hari Kedua Kunker di Sultra, Jokowi Akan Tinjau RSUD dan Resmikan Jalan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com