JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan hakim agung Gayus Lumbuun mengatakan, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang melarang hakim untuk tidak mengabulkan permohonan pernikahan beda agama, harus dipatuhi oleh pengadilan.
“SEMA ini adalah instruksi sebenarnya pada jajaran di bawahnya, jadi ini harus ditaati, dipatuhi. Ini satu bentuk instruksi pimpinan kepada jajaran, langsung,” kata Gayus saat dihubungi, Minggu (23/7/2023) petang.
Gayus menyebutkan, SEMA beberapa kali yang terbit memang kadang-kadang menuai pro dan kontra.
Namun, mantan Ketua Badan Kehormatan DPR itu mengatakan, SEMA harus ditaati.
Baca juga: Soal Hakim Kabulkan Nikah Beda Agama Setelah Ada SEMA, MA: Kita Lihat Sikapnya
“Wajar kalau MA itu mendesak, kalau itu dipandang dari sisi yuridis. Karena UU Perkawinan, itu memang mengharuskan seperti itu, perkawinan tidak dicatatkan kalau beda agama. Itu secara yuridis sangat tepat,” kata Gayus.
Gayus menambahkan, pemerintah sembari juga harus mencari solusi atau jalan tengah terkait pandangan sosiologis.
“Cinta, benci, takut, aman itu memilliki derajat tertinggi di ranah sosial, itu derajat tertinggi hak asasi yang dimiliki oleh masyarakat juga dijamin konstitusi,” kata Gayus.
“Kalau hukum memaksakan untuk tercatatnya agama atau kepercayaan bisa terjadi mencatatkan kebohongan,” ujar dia.
Baca juga: Wapres Minta MA Beri Penjelasan Soal Nasib Anak Hasil Nikah Beda Agama
Diberitakan sebelumnya, MA mengeluarkan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.
Dalam SEMA ini, hakim dilarang untuk mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama.
"Untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan,” demikian bunyi SEMA ditandatangani oleh Ketua MA Muhammad Syarifuddin, Senin (17/7/2023).
Dalam SEMA ini disebutkan, perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu.
Hal ini sesuai Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
“Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan,” tulis poin dua SEMA tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.