MATARAM, KOMPAS.com - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan sikapnya yang mendukung upaya hukum mati di Indonesia.
Dia mengatakan, ada tiga argumen yang membuat hukuman mati layak untuk didukung. Pertama, tindakan pelaku kejahatan hukuman mati yang tidak memikirkan hak asasi manusia (HAM) dari korban.
"Kalau saya yang setuju pidana mati, saya fair saja saya setuju pidana mati. Maka kita berargumentasi, satu, kenapa kita harus memikirkan HAM pelaku, bukankah pelaku ketika melakukan kejahatan dia tidak memikirkan HAM korban?" kata pria yang akrab disapa Eddy itu dalam acara Kumham Goes To Campus di Universitas Mataram, NTB, Kamis (13/7/2023).
Baca juga: Saat Jokowi Tanyakan Urgensi Pasal Penghinaan Presiden di KUHP Baru...
Kedua, ketika seseorang melakukan kejahatan dan tidak bisa direhabilitasi, sudah selayaknya diberikan hukuman paling tinggi yaitu hukuman mati.
"(Alasan kedua), ya orang itu kalau tidak bisa diperbaiki, dimusnahkan. Bagi yang mendukung pidana mati," kata dia.
Ketiga, hukuman mati diserahkan sepenuhnya kepada majelis hakim. Menurut Eddy, keputusan hakim sudah adil dalam setiap vonis yang dijatuhkan.
"Yang ketiga, bahwa kesalahan dalam penjatuhan pidana mati itu sebetulnya diserahkan sepenuhnya kepada Hakim. Karena itu dalam ajaran yang saya yakini, hakim kalau putus perkara, salah dapat pahala satu. Kalau benar dapat dua," kata dia.
Eddy juga menjabarkan, kelompok-kelompok yang menolak pidana mati memiliki argumentasi tersendiri.
Menurut kelompok yang menolak hukuman mati, pidana tersebut melanggar hak asasi manusia untuk pelaku.
Kedua, jika ada kesalahan dalam penerapan pidana mati dan sudah telanjur dieksekusi, pelaku yang sudah dieksekusi tidak bisa dipulihkan.
"Dan ketiga, hak hidup tidak boleh dicabut oleh siapa pun," imbuh dia.
Baca juga: Wamenkumham: KUHP Baru Menghadirkan Keadilan Korektif Bagi Pelaku
Menurut Eddy, argumen pro dan kontra hukuman mati sama-sama kuat dan pemerintah Indonesia mengambil jalan tengah dengan tetap mencantumkan pidana mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tetapi dengan masa percobaan 10 tahun.
Pidana mati atau hukuman mati sebagai jenis pidana khusus diatur mulai Pasal 98 sampai Pasal 102 KUHP baru.
Bukan hanya menjadi pidana bersifat khusus, hukuman mati dalam KUHP baru juga diancamkan dengan masa percobaan selama 10 tahun.
Masa percobaan ini menjadi pertimbangan dengan harapan adanya perubahan perilaku dan penyesalan dari terpidana.
Pasal 100 KUHP baru mengatur, hakim menjatuhkan hukuman mati dengan percobaan selama 10 tahun dengan memperhatikan:
1. Rasa penyesalan dan ada harapan untuk memperbaiki diri
2. Peran dalam tindak pidana.
Nantinya, pidana mati dengan masa percobaan ini wajib dicantumkan dalam putusan pengadilan.
Tenggat masa percobaan 10 tahun dihitung sejak 1 hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
Baca juga: Uji Materi KUHP Baru soal Pidana Mati, Lambang Negara, dan Unjuk Rasa Kandas di MK
Apabila terpidana dalam kurun 10 tahun masa percobaan menunjukkan perubahan sikap dan perbuatan terpuji, hukuman mati dapat diubah menjadi penjara seumur hidup.
Perubahan hukuman ini ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung (MA).
Namun, apabila terpidana sepanjang masa percobaan tidak menunjukkan perubahan sikap dan tidak ada harapan untuk diperbaiki, maka hukuman mati tetap dilaksanakan atas perintah jaksa agung.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.