Dalam UU desa bertaburan diksi yang memuliakan partisipasi, demokrasi, dan pemberdayaan rakyat. Bahkan, agar pembangunan desa bisa partisipatif alias bottom-up, diciptakan pirantinya: Musyawarah Desa dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (untuk menyusun RPJM Desa).
Namun, kenyataan bertitah lain: implementasi UU Desa masih mengidap penyakit top-down dan teknokratisme.
Faktanya, ada lebih dari 60 regulasi (dan perubahannya) yang bersumber dari pemerintah pusat, baik Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri, hingga Surat Keputusan Bersama (SKB), yang berusaha mendikte pembangunan desa.
Model pembangunan yang top-down seringkali menghasilkan kebijakan ataupun infrastruktur yang tidak sesuai dengan kebutuhan konkret dan mendesak dari warga.
Model pembangunan yang top-down juga selalu melihat masyarakat desa sebagai komunitas homogen, sehingga tawaran kebijakannya memunggungi kekhasan budaya maupun tradisi masyarakat desa.
Selain itu, model pembangunan yang minus partisipasi itu menciptakan ruang lebar untuk misalokasi anggaran, mark-up, kegiatan atau program fiktif, pemotongan anggaran, dan lain-lain.
Catatan bersama Kementerian PPN/Bappenas, Bank Dunia dan Kompak pada 2018 menemukan hanya 46 persen infrastruktur yang didanai dana desa sesuai dengan spesifikasi teknis.
Kemudian, hanya 30 persen yang dianggap sangat baik dalam hal fungsionalitas oleh pengguna dan hanya 50 persen proyek yang memiliki desain yang sesuai dengan pengguna.
Lebih miris lagi, dari 165 proyek tingkat desa yang dikaji dalam laporan itu, sebanyak 60 persen tidak memiliki dokumen perencanaan dan desain yang diperlukan, sementara 45 persen tidak memiliki gambar desain sama sekali.
Selain soal pembangunan yang top-down, implementasi UU desa juga terbelenggu oleh relasi sosial parasit warisan feodalisme bernama patron-klien.
Relasi patron-klien memungkinkan segelintir elite desa (patron), yang terkadang juga menjadi pejabat dan tokoh desa, membangun hubungan timbal balik yang bersifat hierarkis dan dikotomis dengan masyarakat desa yang menjadi pendukungnya (klien).
Dalam hubungan itu, elite yang bertindak sebagai patron menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk memberikan perlindungan atau manfaat kepada klien yang status sosialnya lebih rendah. Sebagai imbal baliknya, klien memberi dukungan personal dan politik kepada sang patron.
Hubungan patron-klien itu menciptakan ketergantungan pada klien, sehingga mereka tidak bisa bertindak sebagai warga desa yang punya sikap politik mandiri untuk memperjuangkan kepentingannya maupun berpartisipasi dalam pembangunan desa.
Isu-isu besar yang berusaha dimenangkan dalam orkestra politik DPR untuk merevisi UU Desa belum menyentuh ke persoalan mendasar UU Desa dan pembangunan desa.
Proposal perpanjangan jabatan kades ibarat pekerjaan menjaring angin. Sebab, persoalannya bukan pada kurangnya masa jabatan Kades, melainkan soal paradigma pembangunan yang usang dan rendahnya partisipasi warga desa dalam pembangunan.