JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua DPP Partai Demokrat Herman Khaeron menilai jabatan ketua umum partai politik (parpol) lebih baik diurus oleh internal parpol, bukan negara.
Dia pun tak sepaham jika ada yang menggugat Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik ke Mahkamah Konstitusi (MK), khususnya mengenai syarat masa jabatan ketum parpol.
"Menurut saya, biarkan saja ini adalah proses demokrasi yang berlangsung di internal partainya, diatur oleh rumah tangga partainya," kata Herman di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (26/6/2023).
Baca juga: UU Parpol Digugat, MK Diminta Atur Masa Jabatan Ketum Parpol untuk Cegah Dinasti Politik
"Sehingga betul-betul dinamika di internal partai juga tidak kaku semuanya diatur oleh negara," tambah dia.
Herman berpandangan, gugatan yang diajukan dua warga negara itu tidak relevan ke MK.
Sebab, menurutnya pimpinan partai atau parpol sama saja seperti organisasi kemasyarakatan (ormas).
"Karena pimpinan partai adalah pimpinan para pengurus partainya sama dengan sebuah organisasi. Masa, organisasi misalkan organisasi masyarakat lama dibatasi, kan enggak juga gitu," ujar dia.
Baca juga: Di Bukunya, SBY Yakin Jokowi Tak Ikut Campur soal Upaya Moeldoko dkk Rebut Demokrat
Lebih jauh, anggota Komisi VI DPR ini menilai masa jabatan ketum parpol tak bisa disamakan dengan jabatan pejabat publik atau misal Kepala Negara dan Kepala Daerah.
Ketua umum parpol, jelas Herman, memiliki aturan yang sangat tergantung kepada struktur di dalam partainya.
"Ketua umum partai itu diatur oleh statuta nya, diatur oleh anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya karena ini menjadi urusan internal, menjadi urusan rumah tangga partai itu sendiri. Sehingga tidak bisa diatur oleh Negara," tutur Herman.
Diberitakan sebelumnya, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh warga Nias bernama Eliadi Hulu dan warga Yogyakarta bernama Saiful Salim.
Baca juga: Nasdem Klaim Demokrat dan PKS Bakal Legawa jika Anies Pilih Yenny Wahid Jadi Bacawapres
Mereka berharap, MK mencantumkan syarat masa jabatan ketua umum parpol maksimum 2 periode dalam beleid itu. Selama ini, tidak ada pembatasan masa jabatan ketua umum dalam UU Parpol.
"Sebagaimana halnya kekuasaan pemerintahan yang dibatasi oleh masa jabatan tertentu, demikian pula halnya dengan partai politik yang dibentuk atas dasar UU a quo dan juga merupakan peserta pemilu, sudah sepatutnya bagi siapa pun pemimpin partai politik untuk dibatasi masa jabatannya," tulis Eliadi dan Saiful lewat berkas permohonannya, dikutip dari situs resmi MK, Senin (26/6/2023).
"(Pembatasan masa jabatan ketua umum parpol) akan menghilangkan kekuasaan bagi pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkannya sebagai kesempatan untuk melanggengkan kekuasaan," lanjut mereka.
Baca juga: Soal Ganjar Telepon Pj Gubernur dan Sekda DKI, Demokrat: Semestinya Ada Etika Birokrasi
Dalam permohonannya, mereka menggugat agar Pasal 23 ayat 1 yang berbunyi:
"Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART."
diubah menjadi:
"Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART, khusus ketua umum atau sebutan lainnya, AD dan ART wajib mengatur masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut."
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.