JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI merespons positif peringatan yang disampaikan Mahkamah Konstitusi (MK) guna menekan politik uang yang terjadi jelang pemilihan legislatif (pileg) dengan sistem proporsional daftar calon terbuka.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengatakan, pengawasan politik uang di masa kampanye pada Pemilu 2024 memang lebih menantang.
Pasalnya, masa kampanye hanya 75 hari. Dengan waktu yang singkat, dikhawatirkan para peserta pemilu tak punya cukup waktu untuk memperkenalkan diri dan program ke masyarakat, sehingga memilih jalan pintas untuk mendulang suara dengan membeli suara.
"Masa 75 hari itu kan sudah di ujung (dekat ke hari pencoblosan). Peserta akan berlomba meyakinkan pemilih. Meyakinkan pemilih kan bisa dengan uang. Ini agak berbahaya," kata Bagja kepada wartawan di Jumat (16/6/2023).
Baca juga: MK Sebut Politik Uang Bisa Dikurangi dengan Penegakan Hukum hingga Pembubaran Parpol
Sebelumnya, pada Pemilu 2019, Bawaslu mengutamakan pengawasan politik uang pada masa tenang yang dijadwalkan selama 3 hari di antara berakhirnya masa kampanye dan hari pemungutan suara.
Ketika itu, politik uang memang rawan terjadi di masa tenang. Sebab, masa kampanye pada 2019 berlangsung 6 bulan 3 pekan.
Namun, mengingat kerawanan yang ia jelaskan di atas, Bawaslu sedang mempertimbangkan untuk menarik fokus pengawasan politik uang tak hanya di masa tenang, tetapi pada masa kampanye juga pada Pemilu 2024.
Karena itu, kata Bagja, Bawaslu akan intens melakukan pengawasan praktik politik uang sejak masa kampanye dimulai. Berbeda dengan Pemilu 2019, pengawasan politik uang diutamakan saat masa tenang karena masa kampanye cukup panjang, enam bulan tiga pekan.
Baca juga: Bukan Ubah Sistem Pemilu, Menurut MK, 3 Hal Ini Bisa Cegah Praktik Politik Uang
"Memang politik uang paling parah saat masa tenang biasanya karena orang meyakinkan (pemilih) di akhir-akhir jelang hari pencoblosan," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, MK menolak gugatan untuk penerapan pileg sistem proporsional daftar calon tertutup.
Sehingga, pileg yang diterapkan di Indonesia, sejauh Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak diubah, tetap menggunakan sistem proporsional daftar calon terbuka seperti yang telah diberlakukan sejak 2004.
Mahkamah menyatakan, berdasarkan pertimbangan terhadap implikasi dan implementasi sistem pileg daftar calon terbuka, serta original intent dan penafsiran konstitusi, dalil-dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Baca juga: Fahri Hamzah: Politik Uang Makin Liar jika KPU Hapus Wajib Lapor Sumbangan Kampanye
Majelis hakim membantah dalil para pemohon yang menganggap bahwa pileg sistem proporsional daftar calon terbuka menyuburkan politik uang.
Menurut Mahkamah, sistem pileg bukan penyebab utama. Pileg sistem proporsional daftar calon tertutup juga sama besar peluangnya menyuburkan politik uang di kalangan elite untuk jual-beli kandidasi.
Dalam pertimbangan putusan nomor 114/PUU-XX/2022 itu, MK menilai, setidaknya ada 3 cara yang perlu dilakukan secara simultan untuk meminimalkan politik uang.
Salah satunya, penegakan hukum secara tegas, termasuk pembubaran partai politik.
Di sisi lain, untuk menegakkan hukum tersebut, calon anggota legislatif (caleg) yang terlibat politik uang harus dibatalkan kandidasinya dan dipidana.
Kedua, di luar penegakan hukum, Mahkamah berpendapat bahwa politik uang dapat diminimalkan dengan adanya komitmen dari para peserta pemilu itu sendiri.
Ketiga, publik perlu diberikan kesadaran dan pendidikan politik untuk tidak menerima dan menoleransi politik uang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.