Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Berry Manurung
Penulis

Hobi nulis di berbagai media daring nasional dan lokal. Penulis dua buah buku yaitu Nulis Aja Kok Repot dan Daya Ungkit Bonus Demografi Indonesia. 

Memahami Pikiran dan Tindakan Tidak Lazim Sarwono Kusumaatmadja

Kompas.com - 29/05/2023, 15:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MASIH ingat jawaban seorang narasumber pada salah satu televisi swasta ketika seorang presenter wanita menanyakan kabinet Orde Baru (Orba) pada periode genting pemerintahan Mei 1998?

Tokoh tersebut menjawabnya dengan analogi “cabut gigi” yang memaknakan Orba harus lengser.

Presenter tersebut terlihat begitu gugup mendengar jawaban itu. Tentu saja, bagi Anda yang hidup pada periode kejayaan semu tersebut, kritik bagi pemerintah sangat mungkin mati karir.

Namun, tidak dengan tokoh yang tidak lazim satu ini sekalipun orang dalam lingkaran pemerintahan. Ia menjawabnya dengan lugas bahwa memang sudah seharusnya pemerintahan Orba berakhir.

Pernyataan dalam wawacancara dengan menyebut “cabut gigi”, boleh jadi mewakili ratusan juta warga Indonesia yang tengah digebuk krisis moneter sehingga menciptakan runyamnya kehidupan alias periuk nasi warga karena harga kebutuhan pokok melambung tinggi.

Kekacauan dan panik terjadi di seluruh Indonesia. Isu SARA yang menyasar salah satu etnis merebak.

Belum lagi, begitu otoriternya pemerintahan kala itu. Presiden mendapat julukan sebagai master of puppets.

Akronim kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) seperti sudah menjadi hal lumrah dan menjadi tabiat umum jika ingin jabatan, karier, dan bisnis langgeng.

Masyarakat bulat satu suara yang didorong pula dengan demonstrasi jutaan mahasiswa turun ke jalan memaksa Jenderal bintang lima turun singgasana setelah 32 tahun berkuasa bak raja.

Siapa tokoh nasional tersebut? Tokoh tersebut adalah seorang adik seorang diplomat ulung Mochtar Kusumaatmadja yang memiliki reputasi internasional melahirkan United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) sehingga luas wilayah perairan Nusantara dari 2,5 juta km2 menjadi sekitar 5,1 juta km2!

Tanpa bedil sekaligus nihil pertumpahan darah. Cara diplomasi berkelas sekaligus membawa Indonesia sebagai negara yang disegani bangsa lain.

Sarwono Kusumaatmadja adalah tokoh tersebut. Tokoh nasional jebolan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) dan sempat diceburkan oleh orangtuanya untuk bersekolah di Inggris, mungkin adalah salah satu tokoh anomali yang berhasil dua kali menjadi menteri di era Orba dan berhasil pula menjadi pelopor Kementerian Kelautan pertama periode pemerintahan Gus Dur.

Uniknya, dalam peringatan haul Gus Dur, Sarwono Kusumatmadja mengaku ia lupa sudah jauh hari diminta Gus Dur untuk menjadi menteri pemerintahannya ketika tokoh plural tersebut terpilih menjadi presiden tahun 1999!

Berdiskusi isu strategis di Indonesia dan dunia

Isu tantangan bonus demografi adalah awal saya mengenal beliau pada 2016. Tidak sempat bertemu di sekretariat yang berada dekat kawasan Jakarta Selatan, pada akhirnya berdiskusi intens pada 2017, ketika acara Yayasan Bhakti Bangsa.

Yayasan Bhakti Bangsa didirikan beliau bersama beberapa tokoh nasional seperti Sofyan Djalil, Ph.D, TP. Rachmat, Ir. Aditya Sumanegara, Supramu Santoso, Dr. Widiyanto Dwi Surya dan Prof. Fasli Jalal, Ph.D sebagai ketua umum.

Para tokoh tersebut bersama senior advisor Bappenas Dr. Bambang Wasito Adi dan beberapa tokoh nasional lainnya mengadakan training of trainer capacity building untuk meningkatkan kapasitas sukarelawan dalam memahami tantangan bonus demografi.

Pelatihan itu diharapkan mendorong setiap provinsi memiliki rencana strategis dalam menghadapi bonus demografi sehingga dapat meningkatkan produktivitas warga. Dengan begitu, bangsa kita lolos dari middle income trap.

Brasil dan Afrika Selatan gagal memanfaatkan momentum bonus demografi. Saat ini, program yang diinisiasi yayasan tersebut sudah dilaksanakan di Karang Anyar dan Solo.

Pada kesempatan lain, pada masa sulit pandemi September 2020, saya bersama beberapa teman melalui komunitas yang berfokus pada isu bonus demografi, juga pernah mengundang Sarwono Kusumaatmadja dalam seminar daring. Lagi-lagi beliau menyampaikan pemikiran dan daya kritis tak lazim yang jarang disuarakan.

Ia meneropong, hari ini dan masa depan, Indonesia akan mengalami krisis pangan, pengangguran dan kesehatan masyarakat.

Argumentasinya, jika bangsa kita ingin mengoptimalkan potensi bonus demografi, maka harus memiliki skala prioritas, yaitu pendidikan dan pelatihan, energi, ketahanan pangan, air, dan kesehatan masyarakat.

Ia juga mengingatkan, dunia pada masa depan akan mengalami siklus iklim yang sulit di prediksi. Iklim akan menjadi tantangan global sehingga dibutuhkan kebijakan progresif mulai saat ini.

Indonesia punya daya tawar kuat karena posisi strategis hutan tropis gigantis yang menyokong oksigen penduduk global. Kita juga bisa menyaksikan sekarang bagaimana iklim sukar diramalkan.

Perubahan cuaca ekstrem pada beberapa negara telah menelan korban jiwa dan memengaruhi produksi pertanian karena gagal panen.

Pada masa depan, jika bangsa kita tidak bersiap dan memiliki visi dalam menanggulangi serta tidak mampu membangun aliansi dunia yang peduli akan hal tersebut, bukan tidak mungkin, bangsa kita akan menjadi target eksploitasi bangsa lain karena tidak mampu mengelola tantangan tersebut.

Negara hanya akan sekadar menjadi periuk politikus dan pejabat kerah putih yang korup. Minus cakrawala wawasan memahami geopolitik dan geostrategis global saat ini.

Dengan mempertimbangkan buah pikiran, gagasan, dan tindakannya dalam mendorong publik dan pemerintah agar visioner dalam menghadapi sekelumit permasalahan nasional dan global, rasanya gelar kepahlawanan kepada duo Kusumaatmadja pantas disematkan.

Gelar itu akan menjadi inspirasi dan mendorong para elite, politisi, dan khususnya lagi generasi muda lebih tajam meneropong isu global sekaligus produktif dengan bergotong royong melahirkan terobosan berdaya sehingga tidak hanya menjadi sekadar follower atau malah bersifat partisan.

Indonesia membutuhkan jutaan bunga Kusuma agar mengharumkan bangsa kita dengan terobosan serta prestasi di kancah nasional sekaligus internasional. Selamat jalan, Pak Sarwono.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

Nasional
Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

Nasional
Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

Nasional
Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

Nasional
Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Nasional
Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Nasional
Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Nasional
9 Kabupaten dan 1 Kota  Terdampak Gempa M 6,2 di Garut

9 Kabupaten dan 1 Kota Terdampak Gempa M 6,2 di Garut

Nasional
KPK Sebut Dokter yang Tangani Gus Muhdlor Akui Salah Terbitkan Surat 'Dirawat Sampai Sembuh'

KPK Sebut Dokter yang Tangani Gus Muhdlor Akui Salah Terbitkan Surat "Dirawat Sampai Sembuh"

Nasional
BNPB: Tim Reaksi Cepat Lakukan Pendataan dan Monitoring Usai Gempa di Garut

BNPB: Tim Reaksi Cepat Lakukan Pendataan dan Monitoring Usai Gempa di Garut

Nasional
BNPB: Gempa M 6,2 di Garut Rusak Tempat Ibadah, Sekolah, dan Faskes

BNPB: Gempa M 6,2 di Garut Rusak Tempat Ibadah, Sekolah, dan Faskes

Nasional
PBNU Gelar Karpet Merah Sambut Prabowo-Gibran

PBNU Gelar Karpet Merah Sambut Prabowo-Gibran

Nasional
KPK Nonaktifkan Dua Rutan Buntut Pecat 66 Pegawai yang Terlibat Pungli

KPK Nonaktifkan Dua Rutan Buntut Pecat 66 Pegawai yang Terlibat Pungli

Nasional
BNPB: 4 Orang Luka-luka Akibat Gempa M 6,2 di Kabupaten Garut

BNPB: 4 Orang Luka-luka Akibat Gempa M 6,2 di Kabupaten Garut

Nasional
Prahara di KPK: Usai Laporkan Albertina Ho, Nurul Ghufron Dilaporkan Novel Baswedan Cs Ke Dewas

Prahara di KPK: Usai Laporkan Albertina Ho, Nurul Ghufron Dilaporkan Novel Baswedan Cs Ke Dewas

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com